Friday, August 31, 2007

Qabil bin Adam AS

Oleh: Muhasuh

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Qabil dan Habil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata(Qabil):”Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil “Sesungguhnya Alloh hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa”. (QS5:27).

Ungkapan ayat di atas berkenaan dengan perselisihan antara keturunan Nabi Adam dari generasi pertama. Perselisihan tersebut merupakan buntut ketidakpuasan salah seorang diantara mereka pada keputusan yang diambil oleh Nabi Adam selaku orangtua dalam menentukan calon istri. Nabi Adam sebagai seorang ayah dan sekaligus sebagai Khalifah Pertama di muka bumi menjalankan syariat perihal pernikahan diantara anak-anaknya. Syariat tersebut menetapkan bahwa mereka yang lahir sebagai saudara kembar tidak boleh menikahi saudara kembarnya. Dengan demikian Qabil tidak boleh menikah dengan saudara kembarnya, demikian juga Habil. Yang diperbolehkan adalah Qabil menikah dengan saudara kembar Habil, dan Habil menikah dengan saudara kembar Qabil.

Keputusan tersebut dianggap keputusan kontroversial oleh Qabil dan menganggapnya sebagai keputusan yang tidak mendasar, tidak adil dan tidak bijaksana serta melanggar hak untuk mencari pasangan dan menikah berdasarkan rasa cinta. Bukankah pernikahan harus didasarkan atas cinta atau mau sama mau? Bagaimana mungkin akan membina rumah tangga yang harmonis bila awalnya saja sudah tidak di dasarkan atas pilihan hati? Demikian pertanyaan yang menggelayut dibenaknya. Apalagi selama ini mereka selalu bersama dan sepertinya sudah sehati

Sementara itu Habil yang merupakan adik dari Qabil menerima keputusan yang sudah ditetapkan oleh Nabi Adam. Yaitu menikah dengan saudara kembar Qabil. Penerimaan Habil bukan lantaran saudara kembar Qabil lebih cantik dari saudara kembarnya, melainkan atas dasar ketaatan pada perintah orang tua sebagai Khalifah. Bagi Habil ia akan menjalankan perintah apapun yang diberikan kepadanya dari ayah dan sekaligus Khalifah pertama itu. Karena ia yakin bahwa keptusan yang diambil pastilah untuk kemaslahatan generasi-generasi selanjutnya.

Maka terjadilah seperti peristiwa di atas, yaitu pelaksanaan amaliah (Qurban) untuk menentukan siapa diantara mereka yang benar benar ikhlas. Dalam pelaksanaan Qurbannya, Habil membawa “Qurban” yang terbaik yang dimilikinya, sementara Qabil membawa Qurban yang dianggapnya sudah tak layak konsumsi bagi dirinya. Dan seperti kita ketahui ternyata Qurban Habil-lah yang diterima. Melihat kenyataan tersebut, maka dendamlah Qabil terhadap Habil, maka terjadilah sebuah peristiwa yang pertama di bumi ini, pembunuhan pertama atas manusia.

Itulah salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi Adam AS yang mengatur tata cara pernikahan antara putra putri beliau.

Dari kisah tersebut dapat diambil bebarapa ibrah buat kita yang hidup pada zaman ini. PERTAMA bahwa syariat sejatinya bersifat lestari yang tidak boleh diterima dengan hawa nafsu, sebagaimana sifat syariat itu yang berasal dari wahyu Tuhan yang senantiasa suci dan tidak akan dapat dipegang oleh mereka yang mengumbar hawa nafsu. Bukti kelestarian syariat itu dapat kita saksikan dalam perjalanan para Nabi dalam melaksanakan pernikahan, baik untuk dirinya maupun untuk ummat yang dipimpinnya. Faktor “Cinta” (Suka) seringkali tidak kita dapatkan dalam perjalanan mereka untuk melaksanakan pernikahan. Karena umumnya definisi cinta saat ini membutuhkan bukti “Cinta” yang cenderung melanggar syariat. Pernikahan Ibrahim AS dengan Siti Hajjar atau pernikahan Musa AS dengan Safuro, atau pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab. Kesemuanya tidak dilakukan atas dasar suka sama suka terlebih dahulu, tetapi atas dasar “saran”/ titah/ perjodohan dari orang-orang lain. Apakah salah kita menikah dengan orang yang kita cintai? Tentu saja tidak. Namun bila ada Syariat menentukan lain, maka sudah tentu kita mesti memilih yang diajarkan oleh syariat, meskipun itu mengecewakan kita, seperti halnya “kekecewaan” Zaenab atas perintah Nabi untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah. Ataupun ketika Allah memerintahkan Nabinya untuk menikahi Istri bekas anak angkatnya itu. (QS 33: 36 -37). Yang tentu saja dibalik semua itu ada PESAN-PESAN yang hendak disampaikan kepada kita. Dan barangkali, “Kita” adalah produk dari pernikahan jenis ini, dimana orang tua kita tidak mengenal rasa cinta terlebih dahulu tapi melalui proses “perjodohan” yang dilakukan oleh kakek dan nenek kita.

KEDUA: Syariat yang digunakan Adam bukanlah suatu ketetapan yang diambil karena faktor ketidakadilan (pilih kasih) terhadap salah seorang putranya, tetapi merupakan suatu ketetapan yang diperintahkan “Tuhan”. Pada kasus di atas, terlihat bahwa penerapan syariat yang pertama kali di muka bumi ini ditentang, dan bahkan penentang utamanya adalah anak biologis (dan ideologis nya sekaligus). Dan penentangan itu dilakukan atas dasar hawa nafsu semata. Untuk membuktikan bahwa penentangan itu dilakukan karena hawa nafsu atau tidak, maka Allah memerintahkan kepada keduanya untuk melakukan pengorbanan. Dan ternyata dari hasil pengorbanan itu terlihat bahwa memang Qabil senantiasa memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menyerahkan segala sesuatunya pada nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Dia korbankan harta miliknya yang jelek-jelek, sementara Habil mempersembahkan korban yang paling baik yang dimilikinya.

Becermin dari kisah di atas, ternyata usaha penerapan syariat kapan dan dimanapun pasti akan senantiasa memiliki dua kutub yang berbeda yang saling berhadapan, yaitu kutub penentang dan kutub pendukung. Bagi kutub penentang syariat, upaya apapun akan dilakukan untuk mencegah terealisirnya penerapan syariat yang dimaksud. “LOGIKA” berfikir manusia senantiasa digunakan untuk meredam syariat. “LOGIKA” tersebut sepertinya dapat diterima oleh akal sehat siapapun. Cobalah kita tengok kasus QABIL di atas. Secara logika tindakan yang dilakukan oleh Qabil adalah haq, syah-syah saja dan dapat diterima oleh akal sehat kita. Bukankah urusan menentukan calon pasangan (suami/ istri) adalah hak setiap manusia? Bukankah cinta tidak dapat dipaksakan oleh siapapun? Jadi bila ada suatu “aturan” yang tidak sesuai dengan logika berfikir tersebut, berarti aturan tersebut telah melanggar hak asasi seseorang yang paling mendasar dan harus di tolak, SEKALIPUN aturan itu produk Syariat! Demikian Logika yang digunakan Qabil dan QABIL-QABIL lainnya.

Namun lihatlah dampak yang diakibatkan oleh logika berfikir Qabil tersebut. Survey-survey yang dilakukan di Indonesia, misalnya menyebutkan bahwa banyak para pelajar dan mahasiswa yang telah melakukan hubungan sex pra nikah. Atas dasar cinta dan suka sama suka banyak pasangan yang melakukan “KUMPUL KEBO. Atas dasar hak asasi pasangan sejenis bebas merajalela melakukan aktifitasnya tanpa merasa takut sedikutpun.

Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “tidak dikatakan beriman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”

Mengambil hikmah dari kisah Qabil dan Habil, mungkin kita mesti merenung lebih dalam lagi tentang logika berfikir yang selama ini kita gunakan dalam menjawab fenomena-fenomena yang berkembang di masyarakat kita. Dan ... (Sisa baris ini sengaja dikosongkan)


(Sandaran hati yang tak pernah tergapai)

Monday, August 20, 2007

Atas Berkat RAHMAT ALLAH SWT...

Oleh : Muhasuh

Baru saja bangsa ini melaksanakan ulang tahun yang ke 62 yang dirayakan secara serentak diberbagai wilayah tanah air.

Menarik untuk kita kaji permasalahan yang terjadi pada bangsa ini setelah kemerdekaan melalui pendekatan sejarah bangsa lain yang terdapat pada Al-Qur’an. Seperti kita ketahui salah satu fungsi Al-Qur’an adalah sebagai Ibrah atau pengajaran kepada kita agar kita tidak terperosok pada lubang yang sama. Untuk itu dalam contoh ini akan dikemukakan tentang Bangsa Israil, karena bangsa ini banyak disebut-sebut dalam Al-Qur’an

Bangsa Israil adalah bangsa yang terjajah ratusan tahun lamanya dibawah kekuasaan Firaun-Firaun. Selama ratusan tahun itu bukan hanya wilayah dan fisik bangsa Israil saja yang terjajah, namun juga sudah sampai pada mental spirituil (ideologi) yang terjajah, sehingga banyak diantara mereka sudah kehilangan identitas diri sebagai bangsa. Mereka merasa rendah dihadapan bangsa Mesir yang menjajahnya. Bahkan diantara mereka banyak yang “menghamba” kepada pejabat-pejabat Mesir dan menjadi pengkhianat bangsanya, sesuatu yang lumrah dalam suatu negara jajahan termasuk Indonesia.

Demikianlah bangsa dimana para Nabi senantiasa muncul (QS 5: 20) kini menjadi lemah tanpa daya dan hanya menunggu nubuwah tentang kelahiran seorang anak manusia yang dapat membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah.

Namun setelah kedatangan “sang Pembebas” pun mereka tetap saja tidak memiliki semangat untuk merdeka. Mereka tetap bangsa yang lemah, tidak memiliki semangat juang.(QS 7: 129). Tergambar dalam benak mereka bahwa ditindas oleh Firaun ataupun berusaha melakukan pembebasan hasilnya akan sama. Mereka beranggapan bahwa “sang Pembebas” lah yang mengerjakan tugas pembebasan itu.

Demikianlah, karena sudah merupakan janji Tuhan, akhirnya bangsa ini terbebas dari Firaun dengan menyeberangi laut yang terbelah atas kehendak Allah melalui tongkat Nabi-Nya. Pada saat-saat menghadapi tentara Firaun ditepi laut, bangsa Israil tetap saja menyalahkan Nabinya atas situasi genting seperti itu. Situasi dimana mereka beranggapan tidak mungkin untuk menyeberangi lautan dan tak kuasa menghadapi Firaun dan balatentaranya.

Setelah bebas, bangsa ini, kurang mampu “memaknai” arti kebebasan itu. Rasa syukur dihati mereka hampir tidak ada sama sekali, bahkan mereka mengeluh dan mengeluh. Dan bahkan ketika Nabi mereka munajat kepada Tuhannya, bangsa ini seakan hilang pegangan, mereka akhirnya kembali kepada ideologi Firaun, yaitu membuat “Tuhan” sebagaimana bangsa Mesir membuat Tuhan-tuhannya. Demikianlah, akhirnya bangsa ini karena hasutan pengkhianat “Samiri” mengembalikan ideologi “Pembebasan Musa” kepada ideologi Penjajah (Firaun). Maka dibuatlah patung anak sapi oleh mereka. Dengan kondisi seperti itu, maka bangsa ini dihukum selama 40 tahun berputar-putar di tempat itu (QS 5: 26). Pengampunan demi pengampunan, diiringi dengan pengingkaran kepada nikmat Tuhan datang silih berganti pada bangsa ini.


Dalam kasus Negara kita, wakil-wakil rakyatnya ketika itu telah sepakat bahwa kemerdekaan yang direbut dari penjajah adalah “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH..”. sebuah keinginan dan pengakuan yang jujur yang diwujudkan dalam pembukaan UUD Negara ini. Namun apa yang terjadi? Bangsa ini sepertinya tidak mampu untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan dengan kembali kepada pemahaman “Atas berkat rahmat Allah”, namun makin jauh bangsa ini makin mendekat dengan ideologi kaum penjajah dan makin jauh kalimat tersebut tidak pernah direnungkan kecuali pada setiap peringatan 17 Agustus. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan bahkan praktek bernegara dan bermasyarakatpun kian hari kian condong ke Ideologi Penjajah. Makin hari jenis kelamin bangsa ini makin tidak jelas, apakah ia negara agama, negara sekuler, negara sosialis atau negara apa? Namun yang pasti pembukaan UUD Negara ini dikemukakan dengan kalimat “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH”

Barangkali cobaan demi cobaan yang menerpa Bangsa ini dari awal kemerdekaan sampai hari ini merupakan bentuk teguran dari yang di Atas agar bangsa ini kembali pada kesepakatan atau janji yang telah mereka sepakati. Berkacalah pada bangsa-bangsa lain yang memiliki identitas dan harga diri di tengah-tengah percaturan bangsa-bangsa dengan memegang teguh konstitusinya. Bila bani Israil di pusingkan dengan urusan nternalnya selama 40 tahun, berapa puluh tahun untuk Indonesia?

(Renungan 17 an)

Friday, August 10, 2007

"INSYA ALLAH"

Oleh : Muhasuh

PEDE (Percaya Diri) dalam kehidupan memang penting dimiliki oleh siapapun. Karena percaya diri akan membuat seseorang tidak gagap serta nyaman dalam menghadapi situasi apapun. Dan akan membuat lawan bicara terkesima, entah dalam hatinya menganggap kita bodoh karena ucapan kita yang “Jaka Sembung” atau salut atas sikap dan ucapan kita yang memahami suatu persoalan secara sempurna. Seorang calon pekerja –misalnya- yang hendak melakukan interview mesti memiliki sikap ini. Tanpa PD pertanyaan yang mudah sekalipun akan membuat ruangan ber AC seperti di terminal Bus Kota. Panas, yang membuat tubuh tidak nyaman, karena keringat mengucur terus menerus dari dahinya dan kursi empuk seperti ada pakunya yang menyebabkan ia geser sana geser sini. Atau seorang calon pemimpin yang sedang melakukan debat publik/ debat kusir, juga harus PD, karena akan mempengaruhi suara calon pemilih bagi dirinya. Demikian juga seorang pengusaha perlu memiliki sikap PD untuk meyakinkan “klien”nya agar tertarik pada apa yang dikemukakannya..

Percaya diri memang sikap yang amat baik, karena menumbuhkan sikap berani menghadapi apapun. Namun PD jangan sampai menyebabkan kita lupa diri, karena kemampuan yang kita miliki, dengan beranggapan bahwa orang lain bodoh, lemah, gampang diakali dan hanya kitalah yang paling pandai, tahu permasalahan dan kuat. Atau dengan menganggap orang lain kecil, tak pernah menyerap informasi dan tak ada artinya. Kecenderungan seperti itu hanya akan menyebabkan seseorang lupa pada dirinya dan menjadikan dirinya kerdil dimata lawan.

Salah satu perwujudan dari sikap PD adalah dalam hal “berjanji”. Umumnya kalau berjanji kita amat “royal” dengan kata-kata “pasti”, misalnya PASTI akan saya tepati, PASTI akan saya selesaikan tepat pada waktunya. Pasti dan pasti atau “percaya deh sama saya”. Dalam dunia bisnis hal seperti ini menjadi lumrah alias wajar. Sebab tanpa PD (kepastian) dalam menyikapi segala sesuatu hanya akan menyebabkan calon klien lari dari kita, akhirnya peluang kerjasama akan sirna dan sulit untuk diraih kembali.

Di dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi (18): 23-24 ada pelajaran yang baik bagi kita perihal berjanji. Sekalipun kita adalah orang yang terpercaya di mata orang lain jangan lupa untuk senantiasa ingat kepada Allah dengan senantiasa mengucap “Insya Allah” yang tulus dan ikhlas dalam setiap janji yang kita ucapkan.

Perhatikanlah sekelumit kisah singkat berikut yang di ambil dari QS 18: 23-24 yang dialami oleh sang Nabi tercinta perihal janji. Muhammad SAW, adalah seorang Nabi yang memiliki sikap PD yang tinggi akan tugas dan tanggungjawab terhadap misi yang diembannya. Beliau tidak pernah ragu sedikitpun terhadap apa yang dibawanya dan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, karena beliau yakin bahwa pertolongan akan senantiasa diberikan kepadanya sekalipun permasalahan itu teramat berat baginya, karena ia berada di atas jalan kebenaran. Apalagi “JIBRIL” sang Malaikat pembawa pesan misi Ilahi acapkali “mengunjunginya”. seakan-akan tak pernah alfa sedikitpun untuk menjenguknya.

“Mungkin” (kalau boleh menggunakan kata MUNGKIN) karena “mudahnya” bertemu dengan Jibril, dan “merasa” (kalau boleh menggunakan kata MERASA) sebagai pembawa petunjuk Tuhan yang harus disampaikan kepada segenap ummat manusia, membuat PD beliau bertambah tinggi bahkan sampai puncaknya. Beliau haqul yakin bahwa apapun yang diinginkannya dalam upaya menyebarkan Dienullah dan bukan untuk kepentingan pribadi PASTI akan dikabulkanNya. Apalagi ditangan beliaulah Nasib agama ini dipertaruhkan. Maka tatkala orang-orang Quraisy bertanya sesuatu kepada beliau, dan pertanyaan itu sulit untuk dijawab karena harus melalui penjelasan wahyu, dengan “ringannya” beliau menjawab : “Tunggulah besok pagi, saya akan menjawabnya”. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali beliau menunggu kedatangan “Jibril”. Dari detik kedetik, menit ke menit bahkan dari jam ke jam yang dinanti tak kunjung datang, dan tak ada tanda-tanda akan kedatangannya pada pagi itu. Rasa cemas mulai menghinggapi diri Beliau, karena ucapan Beliau telah terlanjur keluar. Apalagi beliau adalah “AL AMIN” yang terpercaya yang tak pernah sekalipun dalam hidupnya mencederai janji dan berkata dusta. Akhirnya pagi itu berlalu tanpa kehadiran sang pembawa pesan Ilahi. Segudang Tanya menghinggapi diri beliau, apalagi orang-orang Quraisy sudah berkerumun untuk mendapat jawaban dari sang Nabi perihal pertanyaan-pertanyaan mereka kemarin. Mereka mulai mengejek beliau dengan mengatakan bahwa Beliau telah ditinggalkan Tuhannya. Buktinya wahyu yang dijanjikan belum juga turun.

Barulah menjelang sore sang pembawa pesan datang dengan membawa wahyu, namun yang pertama kali disampaikan adalah wahyu yang ditujukan kepada beliau berupa “teguran/ didikan/ ajaran” terhadap sikap Beliau karena berjanji tanpa mengucapkan “INSYA ALLAH” .

Firman Allah : (23) Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, (24) kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini." (QS Al Kahfi (18) : 23 -24)

Demikianlah teguran yang diberikan Allah kepada Hamba kekasihNya.

Kata “Insya Allah”, sering kita gunakan dan lontarkan dalam berbagai aktifitas kita. Saking royalnya kita tidak dapat membedakan kapan kata-kata itu harus kita ucapkan. Pokoknya Insya Allah. Yang penting orang lain senang karena kita memberi harapan yang tinggi. Seorang yang diminta datang oleh temannya, dengan enteng menjawab “Insya Allah” padahal tidak ada keinginan sedikitpun dalam dirinya untuk hadir dan bertemu dengan temannya itu. Atau sering juga kita berucap “kalau ada waktu/ kalau ada kesempatan” kita gunakan sebagai pengganti Insya Allah. Atau perpaduan antara keduanya, sepertinya tak cukup bagi kita bila hanya menggunakan kata “Insya Allah”. Atau mungkin ungkapan kalau ada waktu/ kesempatan sama dengan kata “Insya Allah”? sehingga tak perlu berucap Insya Allah?

Di dalam Al-Qur’an kata Insya Allah digunakan dalam upaya kesungguhan untuk melakukan sesuatu secara serius, kepastiannya diserahkan kepada Allah. Surat Al-Kahfi (18): 69 misalnya, bertutur tentang kesungguhan Musa untuk menuntut hkmah, walaupun pada perjalanan pencarian hikmah Musa AS tidak mampu berlaku sabar. Namun ketidakmampuannya disebabkan pengetahuannya belum sampai dalam masalah-masalah itu. Karena dalam pandangan umum tindakan sang “Guru” tidaklah umum atau menyalahi kriteria-kriteria keumuman. Lihat juga Surat Al Qashash (28): 27, QS As-Shafat (37): 102

Ya. Insya Allah sepertinya hal yang sepele, namun kalimat ini telah terekam dalam kitab suci kita sebagai teguran kepada Nabi-Nya. Jadi sepelekah kata itu?

Berkaca dari QS Al-Kahfi (18): 23 – 24 kita dapat mengambil berbagai hikmah yang menyertainya, diantaranya : (1) bahwa pemilik waktu/ masa/ alam semesta adalah Allah SWT, sementara manusia tidak secuilpun memiliki pengetahuan tentang hari esok.; (2) JIBRIL (dan Malaikat semuanya) adalah mahkluk-makhluk Allah yang hanya “beraktifitas” atas perintah Allah semata, tak seorangpun mampu untuk memerintahnya, mengendalikannya atau memaksanya untuk turun atau menurunkan wahyu sekalipun dia seorang “Nabi yang tercinta”. Bandingkan dengan pernyataan seorang wanita yang katanya bisa berkomunikasi dan memerintahkan Jibril datang atas perintahnya; (3) terjaganya kemurnian Tauhid, karena Allah tak suka untuk di syarikatkan dalam semua urusan-Nya, dan Allah adalah penguasa tunggal atas makhluknya; (4) mengasah hati, pikir, tindakan dan ucapan kita agar menjadi manusia yang menyadari keterbatasan yang dimilikinya; (5) sebagai pukulan telak bagi mereka-mereka yang merasa sudah dekat dengan Tuhannya sehingga Malaikat bisa dijadikan sebagai pengawal pribadinya atau bisa berkomunikasi dengan mereka kapanpun mereka mau.

Sebenarnya masih banyak hikmah yang dapat diambil dari Al-Kahfi (18) 23-24. dan silakan untuk mencarinya.

(Ketika malam baru saja gelap, dan ketika kesunyia baru saja mengetuk pintu, dan ketika PERMAISURI menyertai malamku)

Thursday, August 02, 2007

Suatu Masa - Sebuah Peristiwa - Mutiara Hati

Oleh : Muhasuh

Suatu Masa
---
Wahai diri nan lengah
Ingatlah suatu masa,
dimana engkau akan berdiri telanjang
Menatap mentari yang sudah tak ramah lagi
Dia akan membakarmu dan
akan menciptakan lautan keringat
Kau terpaku dan terdiam penuh dengan sesal demi sesal
Kau bawa api untuk menghadap Sang Penguasa
Kau bawa darah untuk menghadap Sang Penguasa
Kau bawa nanah untuk menghadap Sang Penguasa
Mulutmu terkunci, namun dahagamu kian merasuk
Kau minum api, darah, dan nanah yang kau genggam
Kau menggelepar dan mengharap hujan turun
Kau menanti dan menanti datangnya angin semilir

Wahai diri nan lengah
Hari itu kau tak mampu berdiri tegak
Kau mengeluh dan berteriak dengan lantangnya
kau menoleh kekiri dan kekanan
Namun tak seorang pun yang mau menolong dan membantumu
Hari itu manusia sibuk dengan dirinya masing‑masing
Kau menghujat dan mengutuk dirimu
Kau tutupi wajah pucatmu dengan tangan darahmu
Fikiranmu melayang jauh ke mayapada nan telah runtuh
Kau mencoba berfantasi menjadi makhluk putih
Angan‑anganmu tak mampu membangun kembali tubuhmu
Kau makin menggelepar, kau makin dahaga

Wahai diri nan lengah
Hari itu hartamu akan membakar perutmu
Anak‑anakmu akan menggugat engkau dihadapan sang Penguasa
Ular‑ular berbisa dan kala‑kala ganas siap merobekmu
Timah panas dan mendidih akan datang padamu
Manakala kau berteriak kehausan dan dahaga
Api‑api biru, merah, putih acap membakar tulang‑tulangmu
Kau tak berdaya, sementara dahulu kau sombong

Wahai diri nan lengah
Ingatlah suatu masa,
dimana kau akan berada ditempat yang pengab
Gelap, sempit, dan cacing‑cacing kelaparan
Tubuhmu dihimpit bumi yang benci padamu
Kau akan melihat penjaga‑penjaga yang ganas, siap menghantammu
Gada di kanannya dan cemeti tergenggam di kirinya.
Hari itu kau takan mampu menyumbat mulut mereka

Wahai diri nan lengah
Hari ini kau mampu berjalan dan berfikir
Namun matamu buta, Telingamu tuli
Hatimu tertutup debu‑debu yang menghitam
Kau goreskan pena hitam dilembaran hidupmu
Kau berjalan dengan langkah terburu dan takberaturan
Kau hiasi hari‑harimu dengan tertawa terbahak
Kau merasa sanggup membeli kitab putih untukmu kelak
Kau bertepuk dada dan memicingkan matamu dari manusia

IB19 10‑12/Mei9O3O 10.20
Sebuah Peristiwa
---
Adakah hikmah dari suatu musibah yang menimpa ?
Kadang air mata jatuh bercucuran kedagu nan kering
Kadang tangan gemetar menutupi wajah pucat dan basah
Kadang bibir nan mungil tak mampu untuk berkata‑kata
Kadang hati nan bersih terselimuti debu‑debu hitam
Kadang tubuh nan tegar bak daun layu

Wahai diri nan dhaif
Dadamu akan kian semakin sesak
Manakala setiap peristiwa kau simpan di rongga dada
Kau himpit kepalamu dengan segudang tanya
Mulutmu terkunci sementara angin siap membawa suaramu
Gigimu gemeretak menahan beban yang terhimpit dikepalamu
Pandangan matamu sayu dan bibirmu mencibir sinis
Air matamu mulai jatuh membasahi pipi lembutmu
Kau menangis, hatimu pedih, langkahmu gontai
Kau merasa terasing dan sendiri

Wahai diri nan fana
Tataplah keatas sana pada langit yang biru
Kuaklah awan yang menutupinya dengan derai air matamu
Bukalah langit dengan hatimu
Kau lihat, DIA tersenyum padamu
Langkahkan kakimu kearah‑Nya niscaya DIA akan berlari ke arahmu
Hapuslah air matamu dengan kasih‑Nya
Tersenyumlah agar dadamu tak sesak lagi

Wahai diri nan fana
Berilah kepada bayu semua peristiwa di rongga dadamu

IB19 22‑05‑9O3O
Mutiara Hati
---
Ada segenggam tanya bermain dalam layar fikir
Menerawang batas-batas asa yang tak berbatas
Menembus bebas putaran utara dan selatan
Mengelilingi belahan timur dan barat

Ada segumpal asa bermain dalam lubuk hati
Mencoba menetap - tinggal dalam posisi tertentu
Ada setitik asa menggores lubuk hati
Dan tinggal - menetap dalam taman hati