Thursday, October 19, 2006

MANUSIA QUR’ANI Pasca RAMADHAN (Antara Harapan dan Kenyataan)


Oleh Muhasuh


" Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu RUH dengan perintah Kami Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya yang kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS42:52)


Setiap kali berakhirnya pelaksanaan Ramadhan yang didalamnya tercakup pelaksanaan Shaum, Taddarus Al-Qur'an, Shalat Tarawih, Zakat Fithrah dan lain-lain, ummat islam menapaki 1 Syawal dengan kemenangan yang gilang gemilang dan jiwa yang konon bagai bayi yang baru dilahirkan. Hal ini merupakan anugerah dan dambaan bagi setiap insan mukmin(ah), sebab dengan inilah ummat (diharapkan) menapaki 1 Syawal dan seterusnya dengan hidup yang serba baru, baru dalam artian tingkah, langkah dan ucapan kesemuanya mencerminkan hasil dari Ramadhan.

Tanpa perubahan yang berarti dalam menjalankan Ramadhan, maka kita telah melewatkan kesempatan yang amat berharga yang mungkin (saja) kita tak akan pernah lagi bertemu Ramadhan ditahun berikutnya. Sementara mereka yang berhasil menikmati kehadiran Ramadhan dalam dirinya, akan mampu mengubah seluruh sikap hidupnya menjadi lebih baik lagi.....
....
Dengan berakhirnya pelaksanaan Ramadhan, diharapkan munculnya manusia-manusia Qur'ani, yaitu manusia yang meneruskan dahaga dan laparnya akan keinginannya bertemu dengan sang Kekasih Sejati. Keinginan inilah yang membuat ia terus dan terus membaca/ menganalisa/ berfikir/ bertindak tentang diri dan lingkungannya atas nama Sang Kekasih Sejati tidak lagi atas nama diri, kesempatan, nafsu serta kedudukan (Iqro bismi-Robb) JO QS 33: 36, .
Kalaulah dalam "membaca" diri dan lingkungannya ia mengatasnamakan diri, kesempatan, nafsu serta kedudukan maka yang ada hanyalah keserakahan. Sebab bagi manusia seperti ini yang lebih utama adalah dirinya, persetan dengan diri orang lain atau lingkungan. Dia tak pernah mau peduli kesusahan orang lain yang disebabkan oleh ulah dirinya, juga ia tak mau peduli akan hancurnya habitat alam dimana ia tinggal. Ia tidak lagi mempedulikan masa depan generasi berikutnya, yang ada didalam pikirannya adalah bagaimana ia dapat mengeruk keuntungan bagi "dirinya" semata walaupun itu harus "menginjak" atau "menyikut" orang lain.
Maka bila kita lihat pada saat ini, dimana mereka yang melaksanakan shaum Ramadhan secara kuantitas makin banyak, namun dalam kualitas atau aplikasi dalam kehidupan sehari-hari masih jauh dari yang diharapkan. Kenapa? Tidak lain adalah belum utuhnya pemahaman kita akan hakekat ibadah shaum itu sendiri. Bagi mereka shaum adalah menahan makan dan minum, tidak untuk yang lain. Dan pula ketika baru (hendak) memasuki shaum Ramadhan ummat sudah disibukkan dengan persiapan dengan apa harus berbuka dan sahur serta perayaan lebaran (Idul fitri). Sementara dalam pelaksanaan Ramadhan layar-layar kaca yang ada di rumah kita banyak menampilkan siaran-siaran yang tidak mendukung ke arah pencapaian ramadhan itu sendiri.
Kalau sudah begini apa yang diharapkan dari pelaksanaan shaum Ramadhan? Nabi SAW bersabda: "berapa banyaknya orang yang berpuasa, tetapi yang diterima nya hanyalah rasa lapar saja, atau berapa banyaknya orang yang bangun beribadah malam, dan yang diterimanya tiada lain hanyalah (kelelahan) berjaga-jaga" (HR Nasai dan Ibnu Majah)

Padahal inilah kesempatan kita untuk meningkatkan grafik keimanan kita. Peningkatan ini menjadi penting sebab musuh utama kita yaitu syetan, terbelenggu pada bulan itu, yang tinggal adalah syetan dari jenis manusia dan hawa nafsunya.

Kalaulah Allah memberikan limit waktu 11 bulan pada si durjana Iblis Laknatulloh untuk menggoda hamba-Nya, maka Allah memberikan limit waktu 1 bulan kepada hamba Nya untuk bertafakur, menyiapkan strategi yang akan dilakukannya menghadapi si durjana. Maka bulan Ramadhan yang kita lalui, tak begitu saja dilewatkan oleh kita. Sebab Inilah sebaik-baik kesempatan dari beberapa kesempatan yang ada karena terbelenggunya Syetan. Mungkin diantara kita ada yang bertanya, benarkah sidurjana dibelenggu pada bulan Ramadhan? Toh andaikan ia dibelenggu niscaya ummat manusia secara keseluruhan dapat menjalankan Ramadhan dengan Khusuk? Nyatanya tiap kali Ramadhan ada saja manusia yang tidak menjalankan Ramadhan dan yang tidak khusuk dalam ber-Ramadhan? Atau mengapa bila sidurjana dibelenggu ternyata masih banyak kejahatan-kejahatan yang dilakukan pada bulan itu?

Kalau kita tidak berfikir jauh kemuka, niscaya kita akan membenarkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi marilah kita berfikir bahwa dalam kurun 11 bulan si durjana aktif dengan segala kemampuan dan keahlian serta pengalaman yang dimilikinya dalam menggoda dan mengkondisikan ummat manusia. Sehingga dengan pengkondisian yang sedemikian terurut dan terprogram tersebut ummat manusia terpedaya dan terlena dalam kehidupannya. Sehingga memasuki bulan ibadah tersebut manusia sudah terbiasa oleh sikap mental yang dibuat oleh sidurjana.

Maka dalam kondisi seperti itulah Sang Kekasih Sejati memberikan limit waktu 1 bulan kepada si hamba untuk mengoreksi segala sesuatu yang pernah dilakukannya dan mengisi program masa depan dengan berorientasi pada kedekatan diri pada Sang Kekasih Sejati.

Apabila waktu yang tersedia (1 bulan) dapat dimanfaatkan dengan baik oleh si hamba, maka manusia qur'ani pasca Ramadhan akan lahir. Namun bila waktu yang diberikan tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka manusia-manusia qur'ani akan jauh dari harapan.

Manusia Qur'ani pada intinya adalah mereka yang mampu memanfaatkan peluang tersebut dan mereka yang mengerti akan hakekat Ramadhan?(Wa an tashumu khoirullakum inkuntum ta'lamun 2:184). Tanpa pemahaman yang benar akan "Keberadaan Ramadhan" manusia tak akan mampu mengambil intisarinya. Bukankan Nabi bersabda betapa banyaknya manusia yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Ini menunjukkan bahwa mereka yang masuk dalam golongan ini adalah mereka yang tidak menyadari hakekat dari Ramadhan.
Manusia Qur'ani yang disebutkan diatas adalah manusia yang menjadikan Qur'an sebagai Ruh dalam kehidupannya sehingga ia mengerti akan predikat iman yang disandangnya dan fungsi Al-kitab (Wakadza lika au hayna ilaika ruhan min amrina ..QS.42:52). Sehingga dengan menjadikan Al-qur'an sebagai ruh, maka manusia ini akan senantiasa mementing-kan kehendak Alloh dari pada tuntutan-tuntutan lainnya, sebab ia membaca atas nama Robb, bukan atas nama dirinya dan yang lainnya (Iqro bismi robb). Manusia Qur'ani inilah yang mendapat gelar hamba dari Sang Kekasih, sehingga setiap permohonannya akan senantiasa diperkenankan oleh Sang Kekasih Sejati (QS.2:186) dan ia akan diangkat oleh Alloh pada kedudukan yang mulia, seperti sabda Nabi innalloha yar fa'a bihazal kitabi iqwaman wa ya dho'u bihi a khorina.(Sesungguhnya Alloh akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab Qur'an dan akan merendahkan kaum yang lain dengannya juga).
Kedekatan diri pada Sang Kekasih Sejati ini bukanlah membuat "si hamba" asyik dengan dirinya sendiri tanpa mau peduli terhadap lingkungannya. Sebab Sang Kekasih Sejati tidak pernah memperkenankan hamba-Nya untuk masa bodoh dan manja dalam kehidupan ini. Tanpa adanya pertisipasi dari "si hamba" terhadap dunia yang mengelilinginya, maka dalam kehidupan ini tak akan ditemui "Rahmatan lil alamin", padahal inilah misi dari manusia Qur'ani. Dengan demikian ia merupakan manusia yang siap membawa dan mempertahankan amanah yang diberikan kepadanya dari Sang Kekasih Sejati. Amanah yang mesti diemban olehnya pasca Ramadhan adalah mengagungkan Alloh dalam arti seluas-luasnya.(walitukabbirolloha 2:185). Amanah ini merupakan tindaklanjut dari amanah sebelumnya, yaitu ketika manusia berada di rahim ibunya, alastu birobbikum Qs 7:172. Disinilah barangkali letak kesamaan antara mereka yang wa antashumu khoirullakum inkuntum ta'lamun dengan janin yang ada di rahim ibunya (alastu birobbikum). Maka tepatlah bila Nabi memberikan gambaran bagi mereka yang telah menjalankan shaum (ibadah) dengan kesadaran dan pemahaman yang benar sebagai manusia-manusia suci (bagai bayi yang baru dilahirkan).

Manusia-manusia qur'ani pasca Ramadhan akan menyebar ke seantero pelosok bumi untuk menabur firman-firman Tuhan, sehingga bumi yang tandus akan menjadi subur. Manusia-manusia Qur'ani akan membangunkan manusia dari mimpi-mimpi yang membelenggu mereka.

Dan mimpi-mimpi tersebut akan terwujud manakala kita telah menjadikan Al-Qur'an sebagai Ruh dalam segala aspek kehidupan, sebab hanya dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai Ruh-lah manusia akan senantiasa membaca diri dan lingkungannya atas nama Tuhan bukan atas nama diri.
(Untuk diri yang hendak berubah)

Tuesday, October 03, 2006

Sekali Lagi Tentang Kemusyrikan

Oleh : Muhasuh


Semula saya berkehendak untuk menulis perihal "langkah-langkah Syetan" setelah kemusyrikan dalam diri, namun entah mengapa kepala ini dipenuhi oleh sesuatu yang sepertinya ada yang tertinggal/ mengganjal dan belum dibahas dalam dua tulisan terdahulu perihalkemusyrikan. Begitu kuatnya keinginan tersebut sampai-sampai menuju dan pulang kerja fikiran tentang itu terus "membuntuti saya". Sebenarnya yang "membuntuti" saya adalah sebuah pertanyaan disekitar kemusyrikan/ kesesatan yaitu bosankah kita "berbicara" tentang kemusyrikan/ kesesatan? Atau "HARE GENE" nulis musyrik/ sesat mulu?
Bagi saya berbicara/ menulis tentang kemusyrikan/ kesesatan sama pentingnya dengan berbicara/ menulis tentang Tauhid/ kebenaran mengapa?
Bagi sebagian kita, membicarakan kemusyrikan/ kesesatan mungkin amat membosankan dan menjengkelkan. Sebab sepertinya tidak ada ruang bagi kita untuk bertindak/ berekspresi atau katakanlah ruang gerak kita untuk berekspresi makin sempit. Mau begini atau begitu mesti dibenturkan dulu dengan Tauhid, bersenggolan atau tidak? Melihat perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini juga harus menggunakan kacamata Tauhid. Kalau seperti ini terus gimana mau menuju masa depan? Ya gak bakalan maju-maju dong! Mungkin seperti itulah komentar kita.
Agama (Dien) Al-Islam dibangun di atas pondasi Tauhid. Sementara yang merobohkan bangunan Dien Al-Islam adalah digerogotinya nilai-nilai Tauhid oleh yang namanya kemusyrikan. Di dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat berbicara tentang kemusyrikan, bahkan diturunkannya para Nabi dan Rasul dalam rangka "menghancurkan" kemusyrikan dan mengembalikan kepada nilai-nilai Tauhid. Banyaknya ayat yang berbicara tentang kemusyrikan dalam Al-Qur’an menunjukkan betapa kemusyrikan adalah hal yang amat serius dan bukan perkara sepele atau perkara HARE GENE.......
Ingatlah kemusyrikan menghalangi kita menuju tempat seharusnya kita (manusia) kembali (syurga). Ibarat PETA kalau sudah diubah maka kita tak akan sampai ketempat yang kita tuju atau membuat kita bingung dan tersesat..
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menandaskan bahwa orang-orang musyrik (dan juga Yahudi) merupakan orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS 5: 82). Lihatlah disekeliling kita, atas, nama BUDAYA dan KEBUDAYAAN kemusyrikan tetap dipertahankan. Atas nama budaya dan kebudayaan kita rela menyandingkan antara Nyi roro kidul dengan Allah. Atas nama budaya dan kebudayaan kita biarkan "PESTA LAUT" tetap berjalan. Atas nama budaya dan kebudayaan kita rela mencampur aduk antara yang hak dan yang batil. Atau yang lebih keren lagi adlah jangan pertentangkan antara Agama dan Budaya.

Dan cobalah sedikit kita merenung perihal shalat kita. Berapakah jumlah seluruh rakaat yang kita lakukan dari shubuh hingga Isya? Dari yang wajib hingga yang sunnah? Hitunglah berapa kali kita berdoa agar kita terhindar dari jalan kesesatan? (QS 1: 7). Begitu seringnya kita mohon agar terhindar dari kesesatan menunjukkan bahwa Kesesatan/ kemusyrikan adalah hal yang mesti kita waspadai karena menyebabkan kita (orang) yang ada di dalamnya tidak akan menemukan jalan menuju tempat seharusnya kita kembali.
Ulama sebagai pewaris Nabi, memang memiliki "misi" mengawal agama tauhid ini agar terhindar atau masuk kedalamnya unsur-unsur musyrik/ sesat. Apakah atas nama HAM kita tidak berani menyatakan sesat terhadap suatu faham/ ajaran yang menyimpang? Katakanlah kalau ada yang mengatakan "ADA NABI SETELAH MUHAMMAD SAW" kita tidak berani/ takut untuk mengatakannya sesat? Apakah kita tidak berani menyatakan sesat kepada faham yang menyatakan bahwa semua agama sama? Apakah kita tidak berani menyatakan SESAT terhadap faham yang menyatakan bahwa Jibril memberi Wahyu kepada seorang wanita yang mengklaim anaknya sebagai Isa Al Masih? Apakah kita akan membiarkan masyarakat banyak terjebak dan ikut pada faham kesesatan tanpa kita peduli?
Khalifah Abu Bakar memakjulkan "perang" terhadap mereka yang tidak mau membayar zakat setelah kematian Rasululloh. Beliau dan juga para Khalifah yang lain giat membasmi munculnya Nabi-Nabi Palsu yang bermunculan setelah kemangkatan beliau. Itu semua mereka lakukan dalam rangka menjaga kemurnian agama Tauhid ini. "Perang" terhadap mereka yang mendakwakan diri sebagai nabi tidak serta merta dilakukan, namun melalui proses penyadaran atau jalan dakah terlebih dahulu
Dari sedikit uraian di atas mestinya kita menyadari bahwa kemusyrikan/ kesesatan adalah "musuh" yang harus kita waspadai (QS 5: 82). Untuk itu kenalilah kemusyrikan/ kesesatan, tanpa kita kenali, bagaimana mungkin kita bisa terhindar dari serangan dan sergapannya? Tanpa kita kenali untuk apa kita mohon agar terhindar dari kesesatan? (QS 1: 7). Kemudian coba pelajari bagaimana dia bisa ada dan menerobos masuk dalam sendi-sendi kehidupan, dan bagaimana cara kita menghadang dan menghadapinya?
Ingatlah kemusyrikan/ kesesatan menyebabkan kita tidak akan sampai ke tempat seharusnya kita kembali. Dan kemusyrikan/ kesesatan bukanlah hal yang sepele.