Tuesday, March 27, 2007

"ÏDOLA" Hasanah

Oleh : Muhasuh

Dalam membicarakan perihal idola, fikiran kita mungkin langsung tertuju pada sosok orang-orang terkenal seperti group musik, bintang olah raga, pemimpin suatu Negara, pemain film, pemimpin suatu ideology, penyanyi, pemimpin pemberontakan, pahlawan dan lainnya baik yang sudah tiada maupun yang masih bisa kita saksikan sampai saat ini yang penampilannya banyak ditiru oleh sebagian masyarakat kita, bahkan mereka rela “memvermak” habis dirinya hanya sekedar untuk mengikuti kulit luar idolanya, tak peduli pantas atau tidak untuk dirinya yang penting tampil “Abiiiz” sesuai dengan apa yang dilakukan oleh idolanya. Dan merekapun tidak pernah mengambil pusing atas tindakan yang dilakukan oleh idolanya.

Sebut saja beberapa tokoh berikut dari tingkat dunia sampai tingkat lokal seperti Che Guevara, tokoh sosialis dari Amerika latin, yang gambar dirinya menghiasi kaos-kaos para mahasiswa, Michael Jackson “King of Pop” yang penampilannya dimanapun senantiasa membuat repot para petugas karena begitu fanatiknya para fans terhadap sang idola, atau wajah Benyamin si “Biang Kerok” yang mulai digandrungi setelah kematiannya, atau Iwan “Bongkar” Fals dengan “OI” nya, kemanapun “Sang Macan Asia” ini pergi fans nya tak pernah menyia-nyiakannya, atau Slank dengan ‘Slanker”nya, Persija dengan “Jackmania”nya, dan masih banyak lagi. Para fans umumnya mendukung habis-habisan idolanya tersebut, tak peduli penampilannya bagus atau jelek benar atau salah sebab mereka tidak pernah tahu ukuran kebenaran dan kesalahan, yang penting dirinya terpuasi oleh penampilan sang idola, bahkan mereka rela antre berjam-jam untuk menanti kedatangan sang idola atau menguntitnya kemanapun sang idola pergi.

Dalam dunia hiburan Indonesia saat ini, idola banyak “diciptakan”, dari Indonesian Idol sampai Pildacil, dari KDI sampai Mama Mia, dan uniknya penentuan Idola lebih ditentukan oleh banyaknya SMS yang mendukung idola dengan mengecilkan perhitungan aspek-aspek yang lainnya, bahkan sang “idola” dengan terpaksa harus mengikuti selera pasar/ juri atau selera fans nya agar terpilih menjadi pemenangnya.

Dalam memandang masalah idola, islam memberikan appresiasi yang sangat tinggi melebihi apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap idola ciptaannya, namun berbeda dengan sosok idola yang “diciptakan” oleh manusia, Islam dalam memandang “idola”, tidak berhenti sampai kata idola saja. Sebab “sang Idola” harus menjadi acuan bagi manusia untuk hidup yang lebih berarti. Dia harus menjadi sumber inspirasi bagi “Fans” nya dalam meniti kehidupan. Untuk itulah di dalam Islam penggunaan kata Idola (uswah) tidak berdiri sendiri, namun diikuti langsung oleh kata “Hasanah”. Suatu istilah yang tidak pernah kita dapatkan dalam keyakinan-keyakinan lain atau dalam perbincangan-perbincangan yang sekedar berhenti pada kata “idola”. Disiniliah keunikan Islam dalam mengarahkan ummatnya untuk keselamatan hidup didunia dan akhirat. Ia (Islam) tidak hanya memberikan tuntunan berupa kitab suci saja, namun juga memberikan tuntunan bagaimana cara menjalani kehidupan ini dengan mengutus “Sang Idola Hasanah”.

Dengan hadirnya Idola Hasanah dalam “pentas” kehidupan yang disaksikan gerak langkahnya dan telah terekam jejaknya dalam lembaran-lembaran hikmah, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk TIDAK mengkuti gerak langkah “Sang Idola” dalam “hal apapun”

Idola hasanah adalah jaminan yang diberikan langsung oleh Pengutus “Sang Idola”, Oleh karena sang Idola berkata dan bertindak tidak berdasarkan keinginan diri semata, tapi tindak tanduknya terbimbing tutur katanya manis dan enak didengar, dan dia menjadi contoh siapa saja dari rakyat miskin sampai orang terkaya, dari mereka yang tidak punya jabatan sampai seorang presiden karena sang Idola hidup miskin melebihi hidupnya seorang yang miskin dan dia menjadi pemimpin melebihi pemimpin yang ada di dunia. Dan dia juga suami dan ayah bagi istri dan anaknya yang melebihi suami dan ayah yang ada didunia. Dia juga seorang yang dekat dengan Tuhannya melebihi orang dan makhluk yang dekat dengan Tuhan di dunia ini dan dia juga seorang yang mandiri dan tiak bergantung dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia adalah orang yang tindak tanduknya, tutur katanya tidak pernah saling berseberangan. Dialah pejuang sejati yang telah mampu membawa rakyatnya dari kegelapan ke pada cahaya nyata.

Lantas.. Kapan kita akan “memvermak” diri kita untuk mengikuti Sang Idola Hasanah?

"QIYAMAH" (Membangun Kesadaran Diri)

Oleh : Muhasuh


Bagaimanakah seandainya aktifitas kita sehari-hari diperlihatkan secara utuh di depan khalayak? Banggakah kita karenanya atau menjadi senewen dibuatnya?

Pertanyaan di atas memang selayaknya menjadi renungan diri, karena tidak tertutup kemungkinan pada saat aktifitas kita diperlihatkan didepan khalayak kita hanya mampu tertunduk lesu tanpa daya. Bibir bergetar, gigi gemeretak, mata berkaca-kaca, kaki tak kuasa menopang beban tubuh, dan tangan sudah tak mampu lagi untuk mengangkat beban, yang ringan sekalipun. Harapan untuk mendapat “penghargaan” musnah seketika, tepukan berubah menjadi ejekan, cemoohan dan lemparan batu.

Kegagalan untuk mendapat penghargaan dan tepukan disebabkan karena kita tak pernah menyangka, ternyata dari hal-hal yang dianggap sepele yang kita lakukan sambil lalu, perbuatan-perbuatan yang disembunyikan dari manusia, dan sikap “munafik” tiba-tiba ditelanjangi di depan khalayak ramai. Padahal kita sudah sedemikian rapi menyembunyikannya, bahkan kita sering “tebar pesona” kesana sini,

Saat itu kita hanya diam terpaku dan berharap bisa kembali untuk mengubah penampilan diri selama di dunia agar sesuai dengan “skenario” yang diberikan sang Sutradara. Namun apa jadinya kalau kesempatan itu sudah tidak ada lagi? Penyesalan selalu datang terlambat, sesal kemudian tidak berguna begitulah kata-kata bijak yang mencoba untuk mengingatkan kita agar senantiasa mengikuti “skenario” sang Sutradara kehidupan agar tidak terpuruk pada lembah kebinasaan.

Untuk itulah Islam mengajarkan kepada ummatnya agar senantiasa memperhatikan aktifitas diri, agar ketika aktifitas diri ditayangkan membuat diri “bangga” karenanya. Disinilah peran qiyamah seharusnya menjadi penting bagi kita untuk senantiasa membangun kesadaran diri menuju ke arah kesempurnaan.

Qiyamah sebagai akhir dari existensi makhluk, hendaknya menyadarkan kita, bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara untuk menuju “dunia” yang lain, yaitu “dunia” yang dipenuhi oleh berbagai macam kesenangan dan “dunia” yang dikelilingi oleh berbagai macam siksaan yang menyakitkan. Dunia yang dipenuhi oleh berbagai kesenangan hanya sanggup digapai oleh mereka yang memahami dan menjalani “perannya” dalam kehidupan sesuai dengan skenario yang dibuat oleh “Sutradara Kehidupan”, sementara “dunia” yang dipenuhi oleh berbagai macam siksaan akan digapai oleh mereka yang mengabaikan perannya dalam kehidupan dan tidak mau peduli terhadap skenario yang dibuat oleh “Sutradara Kehidupan”

Dunia-dunia tersebut merupakan pilihan. Dan kalau boleh memilih tentu kita berharap menempati dunia kesenangan. Untuk itu dituntut dalam diri kita kesadaran yang tinggi akan pentingnya peran qiyamah dalam kehidupan. Tanpa kesadaran diri maka kita akan menganggap dunia saat ini adalah kekal dan dunia berikutnya adalah nisbi/ khayalan. Kalau sudah demikian, maka kita tak pernah peduli dengan peran yang kita mainkan, yang penting kita senang tidak peduli dengan orang lain.

Sebagai “aktor kehidupan” tentu kita berharap bahwa peran yang kita mainkan sesuai dengan skenario yang diberikan. Tentu saja untuk menjadi seorang “aktor” yang baik, kita dituntut untuk secara sungguh-sungguh berakting sesuai dengan skenario yang ada dalam peran yang kita ambil. Dan tidak mungkin kita mampu menjadi “aktor” yang baik manakala kita tidak memahami peran kita dan mengeluarkan segenap daya yang kita miliki.

Untuk itulah tiap “aktor” dituntut untuk mampu membangun kesadaran diri agar senantiasa memahami peran yan dimainkannya dan pada saatnya nanti ketika akting kita ditampilkan dikhalayak, kita menjadi bangga karenanya.

Membangun kesadaran diri ke arah yang lebih baik merupakan suatu keharusan bagi kita sebagai wujud eksistensi diri baik sebagai hamba, khalifah, maupun rahmat bagi semesta alam.

Namun, seringkali kita membayangkan begitu sulit untuk membangun kesadaran diri ditengah kondisi kehidupan yang makin komplek dan sudah tak berbatas negara ini, dimana budaya “asing” dan nyeleneh begitu mudah mengintervensi keyakinan akan kemampuan diri untuk berubah. Kondisi tersebut berakibat makin menyeret kita pada penghancuran diri secara sistematis karena jauhnya diri dari nilai dan membuat kita inferior ditengah kepalsuan. Ditambah lagi munculnya anggapan betapa sulitnya memahami “skenario kehidupan” Padahal membangun kesadaran diri tidak harus berfikir macam-macam yang membuat kita tidak bisa melakukan aksi. Lihatlah apa yang ada dihadapan kita, lihatlah peran yang sedang kita mainkan, lihatlah kemampuan diri dan kerjakanlah secara sungguh-sungguh.

Beragam tindakan dibawah ini mungkin dapat dilakukan oleh kita dalam upaya membangun kesadaran diri, misalnya saja pergi ke pusat-pusat perbelanjaan untuk melihat banyaknya manusia yang terjebak dalam arus konsumerisme, sehingga dapat menyadarkan kita akan bahaya konsumerisme bagi diri karena memperturutkan hawa nafsu dan tidak peduli pada sesama, yang menganggap dunia kekal dan kesenangannya harus diraih dengan cara apapun; ada yang pergi ke rumah Sakit “melihat dan menjenguk” mereka yang ditimpa musibah dan melihat kepedihan yang mendalam dari keluarga si sakit untuk memupuk rasa syukur atas nikmat sehat yang dimilikinya sehingga menambah kesadaran diri bahwa manusia memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan yang kemudian menuntun kita untuk lebih meyakini akan keMahaKuasaan Allah SWT, atau ada yang pergi ke kuburan bukan untuk “meminta” sesuatu pada “tulang belulang” dan onggokan tanah tapi untuk mengikis segala macam kesombongan dan keserakahan diri bahwa manusia hanya membutuhkan “rumah peristirahatannya” seukuran 1X2M dan tidak membawa harta apapun kecuali kain kafan, dan menyadarkan diri bahwa kita tidak kekal dan orang-orang yang kita cintai dan mencintai akan pergi dari sisi kita sehingga akan menumbuhkan kesadaran untuk mencari cinta yang sejati yaitu cinta yang tidak pernah meninggalkan kita sekalipun kita mati; ada yang rajin shadakah baik dalam keadaan berharta maupun “sedikit harta” guna memupuk rasa peduli terhadap sesama dan membuat hati tentram karena sudah dapat membantu kesulitan orang lain; ada yang rajin puasa sunnah untuk meredam kerakusan dan melatih keshabaran ditengah dunia yang dipenuhi oleh kerakusan dan amarah sehingga terhindar dari tipu dayanya; ada yang melalui shalat-shalat sunnah guna mendapatkan ketenangan bathin sehingga mampu memanfaatkan waktu dengan baik untuk berkomunikasi dengan pemilik waktu itu sendiri; ada yang melaluinya dengan rajin membaca Qur’an guna menguak misteri kehidupan, sehingga ia dapat membedakan mana jalan kebenaran dan kepalsuan; ada yang mendengarkan lagu-lagu yang membuat dirinya merenung akan syair-syair yang didengarnya sehingga akan memotivasi dirinya untuk berbuat seperti apa yang ia dengar; ada yang berinteraksi dengan alam guna menyaksikan kebesaran Sang Maha Perkasa yang kemudian menumbuhkan rasa kerdil diri dihadapan Sang Pembuat Alam; ada yang rajin menulis untuk dapat menasehati diri; ada yang terlibat dalam pemberdayaan Masyarakat (LSM) untuk membantu/ menolong sesama dan masih banyak lagi tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya membangun kesadaran diri selain yang disebutkan di atas.

Bila peran-peran tersebut kita mainkn secara sungguh-sungguh, niscaya penghargan akan kita dapatkan, dan kita bangga karenanya. Bukankah Pintu-Pintu “Dunia Kesenangan” itu banyak macamnya? Barangkali kita dapat memasukinya dari pintu-pintu sesuai dengan peran kita dalam kehidupan.