Thursday, December 02, 2010

Jangan Pandang Mereka dengan Sebelah Mata

“Abul Abbas (sahl) bin Sa’ad as Sa’dy ra berkata:
Ketika Rasululloh SAW sedang duduk, tiba-tiba ada
orang yang lewat didepannya, lalu Rasululloh SAW
bertanya kepada orang yang berada disebelahnya,
Bagaimanakah pendapatmu tentang orang ini?
Jawabnya, “Ia adalah seorang bangsawan. Demi
Allah, sungguh layak apabila ia meminang akan
diterima, dan apabila ia membantu memintakan
sesuatu untuk orang lain pasti akan diterima.”
Rasululloh SAW pun diam. Kemudian lewat orang yang
lain. Rasululloh SAW bertanya lagi kepada shahabat
yang berada disebelahnya. “Bagaimana pendapatmu
tentang orang ini?” Jawabnya, kalau ia meminang
tidak diterima dan kalau ia menolong memintakan
sesuatu untuk orang lain tidak diterima”. Maka
bersabda Rasululloh SAW. “Orang ini (yang kedua)
lebih baik sepenuh bumi daripada orang yang tadi
itu (pertama)” (HR Bukhari Muslim H99 KC).

Semakin hari kehidupan semakin materialistis dan individualistis! Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin kata bang Haji Oma Irama dalam salah satu syair lagunya. Fenomana tersebut berlanjut pada cara pandang terhadap manusia yang ada disekitarnya. Sikap melecehkan terhadap si miskin seringkali dipertontonkan dalam kehidupan sehari-hari. Si kaya makin pongah dan merasa sebagai Raja yang harus dilayani. Si miskin makin terjepit dan terpinggirkan dan harus rela menjadi permainan hidup dan pelayan si kaya.

Sudut pandang demikian dalam kaca mata masyarakat yang materialistis adalah suatu kewajaran, karena memang penghargaan terhadap orang lain didasarkan pada pangkat, harta, dan jabatan seseorang bukan pada kebagusan akhlaknya.

Lihatlah kehidupan yang kita jalani diberbagai bidang menerapkan standar ini, dari desa hingga kota, dan dari rakyat kecil sampai pemimpin negara yang menyebabkan si miskin semakin menjerit, sementara sikaya berpesta pora. Itulah apabila harta dan kedudukan menjadi porsi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersikap terhadap sesama..

Marilah kita tengok sejenak kondisi yang terjadi di negara kita perihal beberapa perlakuan terhadap kaum lemah. Misalnya, dalam usaha memperoleh modal pinjaman, rakyat kecil dipersulit, padahal yang dibutuhkan tidak seberapa jumlahnya, sementara mereka yang bermodal dan berkedudukan dengan mudahnya memperoleh pinjaman bahkan tanpa agunan sekalipun dengan jumlah yang amat njomplang dibandingkan dengan si kecil. Dalam hal memperoleh hak sehatpun si kecil yang tak berduit dipersulit. Pihak pelayan kesahatan mensyaratkan uang jaminan yang seringkali tak terjangkau oleh si kecil. Jadilah si kecil tersandera dan makin jauh untuk menjadi aset bagi bangsa yang amat dicintainya. Bunga Trotoarpun tidak luput dari penertiban, dikejar-kejar, diambil barang dagangannya, padahal mereka telah membantu negaranya mengurangi pengangguran, hanya karena dianggap mengganggu keindahan kota. Buruh-buruh pabrik dan sejenisnya tak kalah melasnya dengan kondisi di atas. Diperas tenaganya sementara gajinya dibawah upah minimum bahkan jauh dari rekan-rekannya di negara lain, alasan penguasa khawatir pemodal lari ke luar negeri (?), bahkan seringkali pembayarannyapun tertunda. TKI, yang jelas-jelas menjadi pahlawan devisa bagi negara ini terabaikan. Perlakuan buruk majikan-majikan mereka tidak segera ditindaklanjuti, menunggu respon masyarat luas. Tidak seperti negara-negara lain yang pemimpinnya langsung turun tangan menangani kasus pahlawan devisa. Sisi hukumpun tak kalah sengitnya. Kasus “nenek Rusminah” dan yang lainnya membuat kita mengurut dada, hanya masalah sepele yang belum jelas kepastian hukumya sudah langsung dipenjarakan sampai berbulan-bulan. Sementara mereka yang memiliki “kekuatan”, koruptor, penggede kasusnya berjalan alot dan bahkan andaikan dihukumpun, hukumannya tak sebanding dengan kejahatannya.

Begitulah nasib kelam si miskin senantiasa terzalimi yang hanya untuk memperoleh bahagian kue pembangunan pun harus disisihkan dan dipinggirkan. Sementara si kaya sibuk menghitung-hitung keuntungan yang akan didapatkan dengan melupakan bahagian si miskin (QS 68: 17-33). Ditambah lagi hampir tidak ada yang mau memperhatikannya kecuali Pemilik hidup dan kehidupan itu sendiri.

Islam mengajarkan kita, agar tidak memandang remeh dan mempermainkan rakyat kecil. Karena mereka ada pada hekekatnya sebagai batu ujian bagi mereka yang berpunya. Peduli atau tidak. Bagi yang peduli terhadap mereka berarti telah menjalankan dan memahami perintah agama dan bagi yang tidak peduli mereka termasuk ke dalam golongan pendusta agama (QS 107: 1-7).

Lihatlah apa yang dikatakan Nabi perihal mereka yang (di)terzalimi, beliau mengatakan “Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini”. (HR. Bukhari) yang menunjukkan kedekatan beliau pada orang-orang kecil. Yang sebenarnya telunjuk itu mengarah kepada siapapun untuk sangat peduli terhadap kehidupan mereka bukan malah menyipitkan mata. Beliau amat peduli terhadap kelangsungan hidup mereka, bahkan beliau rela hidup seperti manusia kebanyakan itu walaupun beliau sanggup hidup melebihi para Kaisar dan para Raja. Perhatian beliau yang amat tinggi terhadap kaum lemah itu diwujudkan dalam praktek hidup beliau bukan sekedar basa-basi yang hari ini ditampilkan oleh para penggede. Beliau tegur para shahabat yang berbuat zalim terhadap mereka, beliau datangi dan santuni serta mencukupi kebutuhan mereka. Bahkan beliaupun memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap doa yang mereka panjatkan.“..Dan takutlah engkau dari doa orang yang dizalimi, karena doa itu tidak ada sekat dengan Allah Taala. (Shahih Muslim No.27)

Tak heran sepeninggal beliau, kebiasaan menyantuni para fakir miskin dan orang-orang kecil dilanjutkan oleh para Khalifah Islam. Para khalifah faham, bahwa dengan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan mereka keberkahan akan senantiasa melingkupi pemerintahan. Beda dengan Negara kita, walaupun dalam UUD secara tegas disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara Negara”, mereka justru terabaikan dan tersingkirkan. Maka wajar saja bila keberkahan jauh dari negeri yang mayoritasnya ummat Islam ini. Bisa saja salah satu sebab musibah demi musibah saling berimpit di negeri kita akibat rintihan mereka yang didengar Sang Maha Pendengar.

Perhatikanlah hadits di atas pada awal tulisan ini, yang berisi pengajaran secara langsung dari Nabi kita akan hakekat kehidupan sesungguhnya. Beliau mengajarkan agar kita jangan terpengaruh oleh bentuk fisik dan materi serta atribut-atribut lainnya yang menempel pada diri seseorang. Jadi............

Draft Tulisan 011210
Ref: Hadits Web, Qur’an digital 2.0

Thursday, November 25, 2010

Jagalah dirimu dan keluargamu....

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS 66:6)



“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita....” (QS 4: 34)
Hidup berkeluarga mengharuskan kita berusaha sekuat daya dalam memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Untuk itu apapun kita lakukan, rasa lelah kita lawan dengan sekuat tenaga kita, berangkat pagi pulang hampir pagi atau kaki jadi kepala - kepala jadi kaki, asalkan semua itu mampu menopang keberlangsungan rumah tangga kita. Waktu-waktu istirahat (tidur) dan bangun pun kita atur sedemikian rupa agar kita tidak terlambat dalam menggapai rezeki yang kita harapkan atau agar kita tidak mendapat teguran dari kantor kita. Dan bila tiba waktu libur, maka kitapun berusaha untuk membahagiakan keluarga dengan berkumpul bersama atau bersilaturrahmi dengan sanaksaudara/ teman dan bahkan kita menyisihkan waktu untuk berwisata menghilangkan kejenuhan ditempat kerja.

Sebagai kepala keluarga (pemimpin) seperti yang diungkap dalam Surat An-Nisa: 34 tersebut di atas, suami memegang peranan yang sentral dalam rumah tangga. Dia menjadi nahkoda untuk mengarahkan bahtera sampai ke pulau harapan. Bukan hanya itu diapun harus mampu berperan memberikan kenyamanan dan ketenangan manakala bahtera yang menuju pulau harapan dilamun ombak. Diapun harus mampu menyelamatkan dan berkorban demi keselamatan seisi bahtera terlebih dahulu daripada dirinya sendiri. Dengan ungkapan seperti itu, maka wajarlah bila Islam memberikan keistimewaan kepada seorang kepala keluarga.

Keistimewaan yang diberikan tidak serta merta menjadikan seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia sukai tanpa kontrol. Kontrol yang dimaksud adalah keseimbangan antara keistimewaan yang diberikan dengan tanggungjawab dirinya sebagai seorang suami. Untuk itu islam memberikan dipundak para suami beban tanggungjawab yang tidak ringan yaitu menjaga dan mengantarkan dirinya dan seluruh keluarganya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Beban tanggungjawab inilah yang mesti difahami oleh siapapun yang ada dalam bahtera sehingga tujuan mencapai pulau harapan bukan hanya sekedar fatamorgana.

Ada 3 (tiga) hal (minimal - menurut saya) tanggungjawab seorang suami kepada keluarganya untuk mencapai pulau harapan, yaitu: pertama, memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, kedua memberi rasa aman dan nyaman, ketiga memenuhi kebutuhan ruhani diri dan keluarga.

1. Memenuhi kebutuhan materi
Memenuhi kebutuhan materi merupakan salah satu kewajiban yang melekat dalam diri kepala keluarga, seperti yang telah diuraikan dalam pendahuluan tulisan ini. Islam mengajarkan kepada para kepala keluarga agar memenuhi kebutuhan ini. “...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf...” (QS 2: 233) dengan cara apapun yang penting halalan thoyibah. Nabi SAW bersabda: “Sungguh salah seorang kalian mengambil beberapa utas tali lalu ia pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memebrinya maupun tidak” (HR Bukhari)

2. Memberi rasa aman dan nyaman serta kasih sayang
Salah satu tujuan dari berumah tangga adalah terciptanya rasa aman dan nyaman. Maka tugas kepala rumah tanggalah untuk mengusahakannya. Kepala keluarga tidak boleh mengabaikan kebutuhan ini dengan alasan apapun termasuk kesibukan memenuhi kebutuhan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya” (HR Tirmidzi - Hasan shahih). Ditangan kepala keluarga yang memiliki akhlak yang baiklah akan terwujud rasa aman dalam rumah tangga. “...Dan pergaulilah wanita (istri) itu dengan cara yang ma’ruf...” qs 4: 19)

3. Memenuhi kebutuhan Ruhani.
yang dimaksud adalah meluruskan segala macam aktifitas/ kebutuhan yang kita lakukan hanya untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. (QS 51:56)

Kebutuhan akan hal ini seringkali ter(di)abaikan oleh kepala keluarga. Padahal tugas ini merupakan kewajiban paling hakiki bagi seorang kepala keluarga. Bila dalam hal memenuhi 2 (dua) kebutuhan sebelumnya kita biasa ngotot, pantang menyerah dan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, maka dalam memenuhi kebutuhan yang satu ini sering kali kita lakukan dengan seadanya, apa adanya atau sekedarnya saja. Kita tidak begitu ngotot, mudah menyerah dan terkadang sambil bermain-main. Padahal dengan memenuhi kebutuhan ini akan menunjukkan bukti cinta kita yang sejati terhadap orang-orang yang kita cintai (keluarga) dan dengan memenuhi kebutuhan inilah tanggunngjawab kita sebagai kepala keluarga teruji lahir dan batin.

Bukti cinta yang dimaksud adalah bahwa sebagai seorang yang memiliki keimanan kepada Allah, yakin akan pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan didunia ini setelah mati. Sehingga akan memunculkan banyak pertanyaan didalam benak kita, antara lain; Bekal apa yang kita miliki dan bekal yang bagaimana yang akan kita bawa kehadapan Robb kita? Apakah kita sebagai kepala keluarga sudah melakukan penyelamatan untuk diri dan keluarga kita?

Ayat berikut (mungkin) dapat menyadarkan kita untuk dapat membuktikan cinta kita kepada keluarga kita. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS At-Tahrim (66): 6)

Bila kita perhatikan ayat di atas, terlihat bahwa Allah memberikan tanggung jawab penuh kepada kepala keluarga untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Tidak hanya informasi sebatas itu, bahkan Allah memberikan informasi lebih luas lagi tentang bahan bakar neraka dan sifat-sifat penjaga neraka sekaligus. Hal ini tentunya menjadishock theraphy bagi kepala keluarga agar jangan main-main terhadap tugas dan tanggungjawabnya.

Semoga Allah memberikan kepada kita kekuatan lahir dan batin untuk dapat berperan aktif dan penuh dalam menjalankan fungsi rumah tangga. Amin ya Robbal alamin

(Draft Tulisan)

Referensi
Al-Qur’an Digital 2.0
Riyadhus shalihin - Akbar Press sept 2009

Cinta Rasul

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS 33:21)


Setiap pecinta tentu membutuhkan bukti cinta. Kalau kita mencintai seseorang misalnya, tentu kitapun butuh untuk membuktikan cinta kita padanya. Dengan jalan apa? Apakah bisa disebut cinta jika itu hanya bertepuk sebelah tangan? Atau apakah dianggap cinta bila orang yang kita cintai justru tidak mencintai atau bahkan membenci kita?


Tentu saja cinta akan bersemi manakala kedua pihak terjadi hubungan saling mencintai. Dengan demikian tidaklah dikatakan cinta bila itu hanya dari satu pihak saja. Seorang pecinta akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui keinginan dari orang yang dicintainya, agar cintanya senantiasa abadi. Dia akan berusaha semaksimal mungkin menghindari hal-hal yang justru dibenci oleh yang ia cintai. Begitulah cinta.


Begitupun dalam hal mencintai Nabi kita Muhammad SAW. Tentu tidaklah dikatakan cinta bila itu hanya datang dari diri kita sendiri apa lagi kita tidak pernah mau tahu dan mencari tahu apa yang disuka dan dibenci oleh Beliau. Kita hanya berteriak-teriak menyebut namanya tiap saat, tapi tak pernah sedikitpun memahami apa yang beliau harapkan dari bukti cinta kita padanya. Bahkan seringkali kita melakukan hal-hal yang dibenci beliau dan bahkan kita sering meninggalkan hal-hal yang beliau inginkan agar kita melaksanakannya.


Cinta kepada Rasul memang bukan sekedar menyebut-nyebut namanya dia membutuhkan bukti dari cinta. Bukti itu adalah mencintai beliau melebihi apa dan siapapun diantara makhluk-makhlukNya. Sabda beliau SAW.: "...Tidak sempurna iman seseorang, diantara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu bapaknya, anaknya dan manusia umumnya" (HR Bukhari dari Anas RA) QS 33:6


Itulah bukti cinta yang diinginkan Rasul kepada kita. Mengorbankan seluruh hidup dan kehidupan kita, mengorbankan seluruh apa yang kita sukai demi mendapatkan cinta Rasul. Tanpa itu cinta kita hanyalah bertepuk sebelah tangan.


Yang menjadi pertanyaan, REALISTISkah hal tersebut? hanya untuk mendapatkan cinta Rasul kita mesti mengorbankan semua yang kita miliki? Bagi pengusung HAM dan kebebasan yang tanpa batas hal tersebut jelas melanggar kaidah-kaidah kebebasan. Bagi mereka yang setengah-setenngah dalam beragamapun pasti mencibir sinis tentang pengorbanan tersebut. Demikian juga yang tidak mempercayai akan hari akhir, jelas mereka akan menolak bentuk pengorbanan seperti itu. Bahkan mungkin mereka menganggapnya sebagai bentuk penindasan terhadap harkat dan martabat serta kebebasan diri. Dan bahkan mereka mengatakan bahwa agama ternyata memang benar sebagai candu bagi masyarakat.


Tapi, marilah kita tengok apakah pengorbanan yang kita lakukan tersebut cukup realistis dengan apa yang telah dan akan dilakukan oleh Rasul kepada kita ummatnya.


Pertama, sepanjang kehidupan yang beliau jalankan beliau tak henti-hentinya mengangkat harkat dan martabat manusia dari kegelapan kepada cahaya Ilahi. Beliau ajarkan seluruh kebaikan yang bermanfaat bagi manusia dan beliau dengan keras dan lantang mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang tidak baik bagi kehidupan itu sendiri (QS 7: 157). Beliaupun melakukan persamaan kedudukan diantara sahabat-sahabatnya yang sebelum diutusnya banyak terjadi penindasan oleh kaum yang berpunya dan berkedudukan terhadap kaum papa. Dan beliau tidak pernah meninggikan seseorang/ kaum kecuali berdasarkan ketaqwaannya.


Kedua, menjelang wafatnya beliau masih memikirkan ummatnya (kita) dengan mengucapkan "Ummati...Ummati". Itulah beliau seorang yang telah ditakdirkan syurga untuknya tetap memikirkan kita ummatnya. Sementara kita semasa hidup yang kita jalani jauh dari ajaran-ajarannya, dan bahkan menentang dan mencemooh habis-habisan ajaran tersebut. Dan tak jarang diantara kita lari menjauh dan merasa jijik dan malu mengamalkan ajarannya.


Ketiga, seperti kita ketahui bahwa semua manusia memiliki kesalahan dan dosa. Dan diakhirat nanti semua itu akan diperlihatkan kepada kita, sehingga kita akan tahu dari hasil tersebut dimana kita akan ditempatkan. Neraka atau Surga. Dan di hari itu semua manusia tak terkecuali membutuhkan pertolongan Allah SWT agar selamat. Ditengah kegundahan setiap manusia akan keselamatan dirinya mereka mencari dan terus mencari seseorang (Nabi) yang mampu menyelamatkan mereka, namun tak ada yang mampu melakukan semua itu kecuali Nabi Muhammad SAW. Kenapa hanya Nabi Muhammad SAW saja yang mampu memenuhi kebutuhan itu? Jawabannya adalah seperti yang beliau sabdakan berikut ini. "Setiap nabi memiliki doa yang selalu diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat". (HR Muslim dari Abu Hurairah ra)


Ya, itulah SYAFAAT, doa yang disimpan oleh Nabi kita untuk Ummatnya kelak di yaumil akhir. Dengan syafaatlah kita akan selamat di akhirat nanti.


Pertanyaan yang perlu kita patri di dalam hati kita adalah. Seberapa besar cinta dan pengorbanan kita kepada Rasulullah SAW agar kita mendapatkan syafaatnya?


(Draft Tulisan) 040410 00:00

Stresss

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS 59: 19)


Kehidupan seringkali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Harapan kita untuk hidup lebih layak dalam berbagai aspek kehidupan ternyata jauh dari yang kita bayangkan. Kemudahan-kemudahan yang kita dambakan dalam meniti perjalanan hidup ternyata tak kunjung diraih. Ketika itulah beban dipundak, fikiran dan hati seakan-akan bertambah berlipat-lipat yang membuat kita tidak mampu bersikap dan bertindak secara normal dan rasional yang pada akhirnya mempengaruhiseluruh sendi fisik dan psikis kita. Berbagai penyakit akan mudah hinggap dalam tubuh disebabkan kita sudah tidak fokus pada usaha yang harus terus dijalani, kita malah terus berkutat dengan bayang-bayang kegagalan demi kegagalan dan penyesalan demi penyesalan. Kita tidak pernah mau menerima kenyataan yang sedang dihadapi. Jadilah kita seakan-akan orang yang terpenjara yang tidak memiliki keleluasaan untuk bertindak. Penjara yang kita ciptakan itu akhirnya membuat diri terkapar tanpa daya. Melangkah salah, diam juga salah, berteriak salah.

Kebanyakan manusia ketika mendapatkan kesusahan dia berkeluh kesah (qs 70: 19-21). Hal seperti inilah yang menyebabkan seseorang tidak menyadari bahwa hidup memiliki berbagai kondisi, yang kesemuanya harus kita hadapi dengan kejernihan berfikir dan bertindak. Selaku manusia seyogyanyalah kita faham, bahwa apa yang kita usahakan tidak melulu harus berhasil. Ketidakberhasilan seharusnyalah menjadikan kita lebih teliti dan sungguh-sungguh lagi dalam mengusahakan apa yang kita harapkan. Dan tidak boleh terpenjara dengan kegagalan yang kita terima serta tidak boleh berfoya-foya manakala keberhasilan kita raih.

Kesenangan hidup yang diberikan Allah dalam berbagai aspeknya memang membuat manusia menjadi tinggi hati atau sombong. Merasa dirinya lebih dari orang lain, dan meremehkan. Manusia-manusia seperti inilah yang apabila mendapatkan kesusahan gampang terhinggapi stress, manusia yang hampir alpa untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merasa setiap hasil usahanya bukan karena kemurahan Allah tapi atas hasil usaha tangannya sendiri.

Manusia yang melupakan kemurahan Allah atas nikmat yang diterimanya, akhirnya tak punya gantungan yang kokoh ketika menghadapi kegagalan berbagai usaha yang dilakukannya. Sekuat apapun dirinya untuk bangkit tetap saja dia tak kuasa dan malah terus terkapar dalam kegagalan yang diciptakannya sendiri. Kemampuannya yang selama ini dibanggakan tak berarti sama sekali ketika berhadapan dengan kehendak Ilahi yang memang datang untuk memberi pelajaran padanya.dalam kondisi seperti itu, bukannya ia menyadari keterbatasan dirinya dihadapan takdir Yang Maha Kuasa, dia malah memaksakan terus dan terus kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Sampai pada saatnya dia bimbang dengan langkah-langkah yang dilakukannya. Akhirnya ia terpaku... melamun tanpa daya dan pada gilirannya kondisi tersebut mempengaruhi fisik dan psikisnya. Ia tak mampu memikul beban akibat dari kegagalannya. Ia merasa malu dengan orang-orang disekelilingnya. . Dan kalau sudah seperti itu apalagi kalau bukan Stress

Pelajaran hidup memang membutuhkan kearifan dalam menjalaninya. Kita sebagai insan beriman mesti mesyadari bahwa segala keberhasilan adalah atas kemurahan Allah kepada kita agar kita tetap selalu ingat pada-Nya. Dan bahwa kegagalan adalah pembelajaran diri agar kita bisa tampil lebih baik lagi dalam masa selanjutnya.

Ayat di atas (59: 19) cukuplah menjadi sandaran kita agar tidak sekalipun melupakan Allah dalam kondisi apapaun. Karena jika itu terjadi maka Allah pun akan melupakan diri kita, bahkan kitapun akan dilupakan oleh diri kita sendiri. Jadi Jangan SOMBONG dan jangan Gampang Putus Asa. (Draft Tuisan)

Thursday, July 29, 2010

Yang Tercinta

Tidurlah dalam pelukanku. Lelaplah dalam mimpi indah.
Biarkanlah sejenak saja, berlalu semua luka-luka.
Tenanglah… tenanglah hapuskan semua duka derita.
Tenanglah… sayangku pastikan ada hari yang indah.

Andaikan masih ada resah eratkan lagi dekapanmu.
Dan sekali lagi cobalah, meski lelah hati yang ada.
Tenanglah…sabarlah pastikan ada hari yang indah.
Dekaplah …sayangku hapuskan semua duka derita.
Biar……. Kita menipu diri dengan hangatnya cinta…
Biar lupakan sementara semua duka terasa. (yang tercinta: Iwan Fals)



Pernahkah kita merasakan kegetiran dalam mengelola rumah tangga? Kegetiran itu berupa musibah demi musibah yang sering menghampiri bahkan merengkuh jiwa kita. Perusahaan kecil (Rumah Tangga) yang kita kelola dari awal sampai hari ini sepertinya sulit untuk mendapatkan apa yang kita harapkan. Andai diantara suami istri tidak sejalan, sudah pasti pertengkaran dan saling menyalahkan menjadi hiburan yang menjengkelkan namun terus kita mainkan. Memang pertengkaran tak pernah kita lakonkan namun masalah yang terjadi itu sering mengusik kebersamaan dan kemesraan yang selama ini snantiasa bersemi diantara kita.

Ya…disaat kesedihan sedang menggelayuti diri, kita butuh teman atau shahabat untuk menopang kesedihan. Dan teman / shahabat yang terbaik hanyalah pasangan kita, bukan siapa-siapa. Sebab, padanyalah kita saling mencurahkan apa yang bersemayam di jiwa ini, padanyalah kita ungkap kegalauan yang ada dalam diri, padanyalah kita tumpahkan belaian lembut kita, padanyalah kita coba terus dan terus membangun keyakinan akan kemampuan kita menghadapi problematika kehidupan, padanyalah kita saling berbagi cerita kesedihan, padanyalah kita buka tangan kita lebar-lebar untuk pelukan hangat dan menghangatkan, padanyalah kita tumpahkan beningnya airmata untuk menyejukan batin yang tergores, padanyalah kita saling memberi harapan akan hari bahagia kelak. padanyalah kita sandarkan beban yang bertumpuk dikepala kita, padanyalah kita isi malam-malam kita dengan bermadu kasih mengungkapkan rasa cinta yang sesungguhnya. Kesemuanya untuk melupakan sejenak masalah yang sudah menunggu diluar pintu kamar kita.

Ya …. Kita butuh “yang Tercinta” untuk membagi duka dan kesedihan kita