Friday, June 23, 2006

Ibadah dan Kekeringan Spiritual

Oleh : Muhasuh


PENDAHULUAN
Menyelami arus yang terjadi dalam kancah pergolakan baik arus bawah dan arus atasnya ternyata pesatnya kemajuan disegala bidang yang ada membawa dampak yang teramat berat (disamping dampak positif yang memang ada, berkaca dari kata kemajuan itu sendiri) bagi ummat dalam mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah perubahan tersebut (apabila kata perubahan itu sendiri belum terpahami). Dan yang lebih parah lagi ummat tak mampu memberi peran sumbangsih yang diharapkan demi kemajuan dan kejayaan Islam. Ummat "terpenjara" oleh perubahan itu sendiri dan akhirnya ummat hanya akan menjadi santapan "anjing-anjing kelaparan" dibelantara roda pembangunan.

Pembangunan dirasakan oleh hampir sebagian ummat Islam hanya bertumpu pada satu tumpuan saja yaitu materi atau yang acap kita kenal dengan "Economic minded", dengan mengabaikan nilai spiritual (kedekatan pada Tuhan). Munculnya pendapat-pendapat seperti ini tentu saja tidak bisa kita salahkan, sebab memang hampir dalam setiap roda pembangunan, bangunan dan kesenangan fisik senantiasa mendapat prioritas yang lebih dari yang lainnya. Maka amat wajar pulalah bila ummat Islam mengkhawatirkan tentang spiritualitas diri yang makin hari makin menjauh dan sulit didapatkan.

Beranjak dari permasalahan di atas, penulis (dengan kemampuan yang amat terbatas) mencoba untuk memaparkan sedikit tentang kekeringan spiritual sebagai upaya untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam menghadapi dampak pembangunan yang makin mengabaikan nilai-nilai spiritual.

MAKNA KATA SPIRITUAL
Untuk memahami permasalahan yang sedang kita bahas ini, tentunya hal yang pertama sekali harus kita lakukan adalah mengetahui makna dari kata "spiritual" itu sendiri. Sebab tanpa kita mengetahui makna suatu kata yang sedang kita bahas, maka akan muncul berbagai penafsiran yang justru akan menambah rancu pemecahan masalah tersebut. Untuk itu penulis merujuk kata spiritual dari Kamus Inggris Indonesia Karangan John M.Echols dan Hassan Shadily. Pada halaman 546, kata spiritual berarti bathin atau ruhani, lebih jauh lagi ditulis bahwa spiritual (dengan kata dasar spirit) bisa berarti pula Ruh (jiwa), Semangat, Arwah, Jin (Hantu), Suasana. Dengan demikian spiritual bisa kita artikan sebagai kondisi bathin (jiwa) kita dalam menjalankan aktifitas kehidupan ini yang terefleksi (kadang-kadang) dalam gerak (olah) tubuh. Kekeringan spiritual berarti kering/kosongnya jiwa (dari apa?)

SPIRITUAL DAN MASALAHNYA
Pengetahuan yang keliru tentang makna ibadah serta kurangmampunya ummat menangkap ruh ajaran islam menyebabkan banyak diantara kita (ummat) mendefinisikan ibadah secara terpisah (parsial) dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Ibadah dalam pandangan ummat adalah ketidakterkaitan antara pemenuhan kebutuhan hidup (material) dengan kebutuhan akan kedekatan dirinya pada Tuhan (Spiritual), sehingga banyak ummat merasa dirinya (Jiwa) kering (kekeringan spiritual) manakala ia "amat sedikit" dalam melaksanakan ibadah (ritual) dan menganggap dirinya terlalu sibuk dalam urusan keduniaan (pemenuhan diri). Pandangan seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh unsur luar. Unsur luar yang dimaksud adalah akibat proses sosialisasi pemahaman ummat dengan konsep pemikiran yang ada. Lebih tragis lagi penyebab kekeringan spiritual yang terjadi (pandangan ummat) dinisbatkan oleh dampak pembangunan yang giat dilakukan. Mereka berpendapat bahwa sisi-sisi spiritual terabaikan dan yang terangkat adalah sisi-sisi material. Misalnya dengan titik tekan pembangunan pada bidang ekonomi belaka.

Contoh yang paling gamblang dalam masalah di atas telah ditampilkan dalam pentas sejarah islam oleh tiga orang shahabat. Ketika tiga orang shahabat bertanya kepada Aisyah tentang ibadah Beliau SAW, dan ketika telah mendapat jawabannya, mereka merasa bahwa diri mereka teramat kecil. Lalu salah seorang berkata akan berpuasa terus-menerus tanpa berbuka, yang seorang lagi berkata akan shalat terus-menerus dengan meninggalkan tidur, yang seorang lagi berkata tidak akan kawin, dan terus membujang. Mereka semuanya menganggap bahwa hal-hal yang akan ditingalkannya itu merupakan penghambat bagi dirinya untuk beribadah pada Alloh. Mengetahui kondisi demikian, Rasululloh bersabda, "Aku orang yang paling beriman dan bertaqwa, tapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, serta aku kawin dan tidak membujang".

Pada contoh di atas terlihat betapa para shahabat belum mampu mendefinisikan hidup (ibadah) menurut konsep ajaran islam. Para shahabat tersebut merasakan bahwa hidup untuk "pemenuhan diri" tidaklah masuk kedalam kriteria ibadah yang akan mendekatkan dirinya pada Tuhan.

Sementara itu dikalangan ummat beredar anggapan bahwa dengan (banyak) beribadah (ritual) kepada Alloh akan menghapuskan kekeringan spiritual yang melanda dirinya. Ternyata pendapat ini tidaklah selalu tepat dan benar. Hal ini bisa kita buktikan dengan fatwa-fatwa Rasululloh SAW, beliau mengatakan betapa banyaknya orang yang bangun malam (untuk shalat) ternyata tidak mendapatkan apa-apa selain melek mata belaka, betapa banyaknya orang yang puasa ternyata hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Dilain tempat (hadit qudsi) betapa pembaca-pembaca Al-Qur'an di azab dineraka oleh Alloh (karena tanpa amal). Bukankah Alloh sendiri menyatakan "Celaka" bagi mereka yang shalat, yang mereka itu lalai dari shalatnya. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa kokohnya spiritualitas diri tidaklah ditentukan oleh banyaknya kita beribadah (ritual) kepada Alloh. Kalau begitu apa?

Penyebab tentram dan gelisahnya diri (kekeringan spiritual) adalah sesuatu yang ada dalam diri yang kebutuhannya tidak terpenuhi. Rasululloh SAW menyatakan Didalam tubuh ada sekerat daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuh itu, dan bila sekerat daging itu rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh itu, sekerat daging itu adalah hati. Inilah kunci dari kekokohan dan kekeringan spiritual yang kita rasakan.

AL-QUR'AN DAN MISI SUCINYA
Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan malaikat Jibril merupakan petunjuk dan pemandu manusia dalam kehidupan didunia dan akhirat. Sebagai pemandu kehidupan didunia Al-Qur'an mengingatkan manusia akan jati dirinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, yaitu makhluk yang bertanggungjawab kepada dirinya dan juga masyarakat sekitarnya. Wujud dari tanggungjawab kepada dirinya, manusia diwajibkan untuk mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang bersifat materi/ kebendaan dan juga ruhani. Sementara wujud dari tanggungjawabnya kepada masyarakat sekitarnya adalah dengan melakukan sosialisasi dalam kehidupannya. Yang dengan demikian manusia akan saling bergantung satu dengan yang lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebagai pemandu kehidupan akhirat Al-Qur'an mengingatkan manusia untuk senantiasa ingat akan pencipta-Nya dalam setiap melakukan aktifitasnya. Al-Qur'an menentang pemenuhan kebutuhan diri yang tidak dikaitkan dalam rangka ingat pada-Nya. Bukankah Al-qur'an mengecam dan mengancam mereka yang menumpuk-numpuk harta dan enggan menyisihkannya di jalan Alloh ataupun melakukan ibadah tanpa peduli terhadap manusia sekitarnya.

Al-Qur'an disamping sebagai pemandu bagi manusia acapkali iapun digunakan sebagai pengisi ruhani manusia dengan jalan membacanya. Namun ketidaktahuan manusia dalam berdialog dengan Al-qur'an menyebabkan seseorang (merasa) tak mendapatkan ketentraman dan (merasa) makin jauh dari Tuhan. Hal ini disebabkan karena dalam berdialog kita memandang Al-Qur'an hanya sebagai sebuah kitab suci tanpa kita sendiri mampu mensucikan nilai-nilai yang ada didalamnya atau dengan kata lain kita tidak menjadikan Al-Qur'an sebuah "Kitab Suci" bagi jiwa kita. Dengan demikian kekokokan ruhani (spiritual) yang kita harapkan dari hasil berdialog tidak akan tercipta. Hal ini juga disebabkan karena dalam berdialog dengan "Kata-kata suci" tersebut kita tidak menggunakan (menghadirkan) "diri yang suci". Bukankah Al-Qur'an telah menandaskan bahwa ia (Al-Qur'an) tidak disentuh melainkan oleh (orang-orang) yang suci (disucikan)?

JALAN MENDEKATKAN DIRI PADA TUHAN
Makna ibadah yang saat ini dipahami terkesan amat sempit yaitu hanya dibatasi oleh ibadah-ibadah ritual saja seperti shalat, shaum, baca Qur'an. Padahal Alloh telah menegaskan pada kita melalui Kalimah Sucinya didalam Al-Qur'an bahwa "tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku". Aktifitas manusia (setiap perbuatan baik) pada hakekatnya adalah ibadah. Untuk itulah Nabi Saw bersabda "Setiap amal tergantung dari niatnya, ia akan mendapatkan apa yang ia niatkan" dan juga "tidak diterima amal perbuatan yang tidak dimulai dengan "membaca bismillah". Dengan demikian aktifitas apapun yang kita lakukan akan bermakna ibadah manakala ia kita niatkan lillahi ta'ala dan dimulai dengan ucapan bismillah. Keperansertaan hati dan tekad yang kuat, serta memandang sesuatu sebagai ibadah, insyaAlloh akan mengikis kekeringan spiritual yang ada.
Di atas telah disinggung ada pendapat yang menyatakan bahwa banyak beribadah akan menjadikan diri dekat dengan Tuhan. Sebenarnya bila kita mau membuka dan membolak-balik Al-Qur'an dan hadits disana akan kita temui betapa kedekatan diri pada Tuhan hanya akan terwujud manakala kita melakukan hubungan kemasyarakatan (Peduli). Tuhan hadir ditempat orang sakit, ditempat orang yang kehausan dan kelaparan, bahkan Tuhan hadir manakala kita menjamu tamu kita dengan baik.

Dan hal yang terpenting agar diri selalu dekat dengan Tuhan adalah dengan menyadari bahwa Tuhan itu nyata, dan dia mengawasi setiap gerak langkah kita dimanapun kita berada.

PENUTUP
Kekeringan spiritual yang melanda akan terus menerjang dan menghantam kita, manakala kita tak menyadari bahwa hidup pada hakekatnya adalah penghambaan diri dan komitmen yang utuh pada Allah SWT
.
Bahwa jalan mendekatkan diri pada Tuhan tidaklah hanya ditentukan oleh banyaknya melakukan aktifitas ibadah (ritual), tapi kedekatan pada Tuhan akan tercipta manakala kita menyadari bahwa segala aktifitas yang kita lakukan pada hakekatnya adalah bermakna ibadah. Dan yang lebih terpenting lagi ialah bahwa Tuhan senantiasa ada dimanapun kita berada. Untuk itu janganlah kita membohongi Tuhan.

Surat Untuk Shahabat

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Menjumpai : Shahabat, dimanapun berada

"Orang mukmin itu bermanfaat, jika engkau berjalan dengannya
ia memberi manfaat bagimu, jika engkau bermusyawarah
(minta pendapat) ia bermanfaat bagimu, jika engkau bergaul
dengannya ia memberi manfaat bagimu
dan semua urusannya bermanfaat" (HR Abi Na'iem dari Ibn Umar)

Semoga Shahabat dan keluarga senantiasa ada dalam lindungan dan kasih sayang Alloh SWT. Amiin.
Shahabat ...

Puji Syukur kepada-Nya, bahwa kita masih diberikan waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri dalam rangka menuju kepada Dia yang memiliki waktu dan kesempatan. Semoga dengan waktu dan kesempatan yang diberikan ini kita tidak menyia-nyiakannya atau kita buang dengan percuma, tapi kita raih untuk kita isi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi perjalanan diri. Kepada Muhammad Saw, manusia yang memiliki qalbun salima, kepadanyalah kita berusaha dengan sungguh-sungguh becermin agar noda di wajah kita dapat kita kenali satu persatu untuk kita bersihkan.
Shahabat ...
Apa kabar shahabat? Masihkah kau merindu? Masihkah kau berjalan? Insya Allah Perjalanan --sampai saat ini-- masih terus kita lakukan dalam upaya mencapai puncak kesejatian, walaupun secara fisik kita hampir-hampir sudah jarang bahkan tidak pernah saling tatap muka disebabkan jarak dan waktu, namun jiwa dan semangat kita senantiasa saling menyapa. Rintangan dan cobaan senantiasa datang menghadang dalam setiap langkah kaki kita dimanapun kita berada dalam upaya mencapai puncak tersebut. Rintangan dan cobaan seringkali datang baik yang dari luar maupun dari dalam diri kita. Rintangan yang datangnya dari luar diri kita mungkin bisa kita kenali satu persatu, namun rintangan yang datangnya dari dalam diri kita acapkali sulit untuk kita kenali atau kita lihat, karena ia bagaikan semut hitam yang berjalan di batu hitam pada gelap malam, kecuali dengan menggunakan kaca pembesar dan Cahaya. Denan kedua "alat" itulah rintangan terbesar dala diri kita dapat kita lihat. Setelah kita dapat melihat rintangan dalam diri kita, dan setelah rintangan tersebut senantiasa kita coba singkirkan satu demi satu, langkah demi langkah, maka perjalanan menuju puncak kesejatian akan semakin mantap dan terarah.. Mantap karena kita senantiasa berusaha untuk senantiasa mawas, terarah karena kita memang meiliki tujuan yang pasti. Dan kitapun enggan untuk berpaling ke belakang dan membatalkan perjalanan, karena kita yakin perjalanan ini begitu amat bermanfaat bagi diri. Kita berkehandak agar apapun yang kita alami dalam perjalanan ini tak akan mampu menggoyahkan tekad yang sudah dicanangkan. Namun demikian setiap sesuatu yang ada disekeliling kita harus tetap kita jadikan sebagai bahan renungan atau introspeksi diri. Sebab kita tidak ingin disebut sebagai manusia yang sombong (QS4:49; 39:60)
Shahabat ...
Perjalanan yang tengah kita telusuri ini membutuhkan "seseorang" yang mampu memotivisir diri agar senantiasa diri ini tak terlena diterpa angin semilir ataupun goyah dihantam hujan badai sekalipun. Seseorang itu adalah shahabat, yang senantiasa berlaku jujur, adil, bijak, peduli, seorang penasehat yang bukan hanya menasehati shahabatnya tapi juga dirinya. Seorang yang senantiasa menuntun pada arah yang jelas, yang genggaman tangannya kokoh dan memberikan rasa aman dan keberanian untuk mengarungi rintangan. Seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri atau berusaha mencelakai shahabatnya (QS 37:51-57; 41:25). Shahabat perjalanan bukanlah dia yang membiarkan shahabatnya menderita ataupun dirinya yang menderita. Shahabat dalam perjalanan adalah dia yang mampu memberi arti kehidupan bagi dirinya, orang sekitarnya dan diri shahabatnya. (QS 9:119), shahabat dalam perjalanan adalah dia yang tak pernah mengenakan topeng kehidupan dihadapan siapapun.
Shahabat ...
Dalam meniti perjalanan ini, kita berusaha sekuat daya dan upaya untuk saling bantu membantu, kadang kita saling bertukar bekal yang kita bawa, sehingga kita dapat saling merasakan bekal yang tidak kita miliki. Atau terkadang kita mencari bekal bersama-sama untuk kemudian kita saling mencicipi bekal tersebut. Dengan bekal-bekal tersebut ditambah dengan bekal-bekal yang kita temui selama perjalanan itulah kita masih dapat terus melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan ini. Perjalanan tanpa bekal merupakan sikap bunuh diri dan mencerminkan ketidaksungguh-sungguhan. Bekal-bekal yang kita bawa atau kita cari tentu saja bekal yang memang sudah selektif yang dapat menunjang ke arah pencapaian tujuan (QS 59:18). Kita tidak ingin bekal yang kita bawa atau kita persiapkan adalah bekal yang mengandung racun yang dapat menyengsarakan kita sehingga kita tidak akan sampai pada puncak kesejatian dan hanya menampilkan kesemuan belaka yang akan menyebabkan borok-borok diwajah kita. (QS 18:103-106; 25:23); atau kita tidak mau bekal yang kita bawa tidak bermanfaat sama sekali dalam perjalanan ini. Susah payah kita membawanya namun tak satupun yang dapat kita manfaatkan bahkan untuk orang lain.
Shahabat ...
Menjadi bermanfaat baik bagi diri, orang sekitar ataupun shahabat sudah tentu membutuhkan tekad yang kuat yaitu berupa niat. Sebab tanpa niat yang kokoh, sesuatu akan dijalani secara sambil lalu saja atau angin-anginan. Yang terkadang bila menguntungkan secara materi akan kita jalani dan bila tidak menguntungkan tidak akan kita jalani. Kita tidak ingin pershahabatan yang kita bangun seperti yang diungkap oleh Al-Qur'an Qs 25:28-29; 43:36, yang menjadikan kita menyesal karena senantiasa memperturutkan hawa nafsu diri. Kita tidak ingin pershahabatan yang kita bangun untuk kebutuhan sesaat ataupun polesan indah kehidupan seperti layaknya fatamorgana atau buih di lautan. Kita berharap bangunan yang kita dirikan adalah bangunan yang kokoh yang memiliki fondasi yang kuat (QS 14:24). Tanpa fondasi yang kuat, maka bangunan tidak akan bertahan lama.(Qs 29:41), bahkan hancur dan akan menimpa penghuninya.
Kita ingin agar kita menjadi bermanfaat, seperti yang diungkapkan oleh Nabi kita. Jalan ke arah sana akan terus kita upayakan secara bersama-sama. Untuk itu kita butuh tali pengikat, agar apa yang kita lakukan tidak mudah putus dan terputus. Tentu saja Tali itu haruslah kokoh, kuat agar kita tidak terjatuh karenanya. Sesuatu yang mudah putus tentu saja tidak baik bila dijadikan sebagai ikatan, karena nantinya akan membuat kita celaka. Alhamdulillah. Kita -insya Alloh - telah memiliki tali itu. Dengan-Nya lah kita bergantung, dengan-Nyalah kita saling mengikat, sehingga kita tidak akan terjatuh karena kita amat begitu yakin dengan kekuatan Tali tersebut.. Saling menganjurkan pada kebaikan, saling mencegah terhadap kemunkaran adalah syarat makin kokoh dan kuatnya ikatan tali tersebut demi berlanjutnya pendakian ke puncak kesejatian.(QS 9:71-72)
Shahabat ...
Menuju puncak kesejatian membutuhkan ketulusan atau hati yang bersih. Sebab hati yang tidak bersih walaupun kita berada di suatu tempat yang suci, tetap saja tidak akan mendekatkan diri kita pada Kesejatian. Sebaliknya dengan hati yang bersih, dimanapun kita berada, kita --insya Alloh-- akan senantiasa dekat dengan kesejatian. Dengan kebersihan hati, kita tidak pernah berniat apa lagi melakukan hal-hal yang dimurkai Tuhan. Karena kita amat meyakini Sesuatu yang sejati dan suci hanya dapat disentuh/diraih dengan kesucian pula. Dan kitapun yakin bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang diberikan oleh Yang Maha Sejati.
Shahabat ...
Akhirnya dengan mengucap syukur kehadirat Ilahi Robbi dengan tidak lupa memohon ampun atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama menjalin pershahabatan yang luput dari pandangan dan perasaan kita(3:133-135), kita akan terus berusaha menampilkan diri yang bermanfaat, karena kita yakini dalam pengadilan kelak mereka-mereka yang bermanfaat dan qalbun salimalah yang akan selamat. Untuk itu tetap pada orbit Ilahi adalah syarat mutlak agar kita tidak terlempar dalam lembah kebinasaan. Amiin
Ya Alloh tiada yang lebih bahagia dalam menjalin pershahabatan dan persaudaraan selain pershahabatan dan persaudaraan ini makin mendekatkan diri kami pada Engkau.

("Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu serta cinta yang dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu. Ya Alloh, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang paling aku cintai, daripada cintaku pada keluargaku, hartaku dan air dingin saat dahaga. Ya Alloh buatlah aku mencintai-Mu, malaikat-malaikat-Mu, Nabi-nabi-Mu, Rasul-rasul-Mu, dan hamba-hamba-Mu yang shalih. Ya Alloh hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti yang Engkau cintai. Ya Alloh, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap cintaku, hatiku dan ridha kepada-Mu dengan segala usahaku")
Shahabat masih ingatkah kau?
Wassalammualaikum warahmatullohi wabarakatuh.
AMMS

Monday, June 12, 2006

Schizophrenia

Oleh : Muhasuh

Maksud hati ingin mendekat kepada Allah apa daya kita tak pernah tahu dimana Allah berada?


Memang amat tidak menyenangkan bila kita berhadapan dengan orang yang mengenakan topeng, disamping kita tidak pernah tahu siapa dia, kita juga tidak pernah melihat mimik mukanya ketika berbicara. Jadi kita tidak pernah tahu apakah wajahnya menggambarkan kondisi diri yang sedang tersenyum, tertawa, mengolok-olok atau bersedih, sungguh-sungguh atau bercanda, geram atau bershahabat, yang kita saksikan adalah sosok wajah tanpa ekspresi, yang kalau tersenyum tak pernah berhenti, begitu juga kalau marah. Pantas saja "PETERPAN" dalam salah satu syair lagunya mengatakan "Buka dulu topengmu biar kulihat wajahmu". Ya memang amat menyakitkan bila berhadapan dengan manusia bertopeng!
Orang yang "mengenakan Topeng", mungkin bisa kita katakan sebagai orang yang bermuka dua, yaitu orang yang datang ke suatu tempat mengenakan topeng dan ke tempat lain juga mengenakan topeng yang lain.Orang-orang seperti ini umumnya memiliki agenda tersendiri yang dirancang sedemikian rupa, ibarat pepatah Musang berbulu ayam. Bayangkan apa jadinya "ayam-ayam" bila ia tidak menyadari bahwa bahaya sudah ada di kandangnya? Dan dia adalah sejahat-jahat manusia.
Sabda Rasulullah SAW: "Dan kamu dapatkan sejahat-jahat manusia adalah orang yang bermuka dua, yang datang kemari dengan satu wajah dan kesana dengan wajah lain" (HR Bukhari Muslim HKC 376).
Dalam praktek kehidupan nyata sikap ini (mengenakan Topeng) diwakili oleh orang yang mengejar keuntungan dirinya belaka, persetan dengan orang lain. Atau sikap ini diambil oleh mereka yang senantiasa membedakan/ mendikotomikan antara urusan akhirat dan urusan dunia. Bagi mereka agama hanyalah masalah akhirat, sementara dunia adalah urusan mereka. Maka itu sering kita saksikan orang-orang berteriak untuk memisahkan antara kehidupan agama dan dunia.
Dalam dunia perpolitikan/ selebritis hal seperti ini adalah hal yang lumrah dan bahkan sudah menjadi kewajiban. Lihatlah selebritis dalam sinetron-sinetron kita pada saat menghadapi bulan puasa, mereka serempak berganti penampilan hampir mendekati 180%. Bila ditanya tentang perannya, mereka berkata :"Peran ini sangat mempengaruhi jiwa saya, insya Allah setelah ini saya akan berubah". Namun apa yang terjadi, setelah bulan puasa berlalu, setelah sinetronnya selesai dan setelah dia kembali kedunianya, maka berlalu pulalah penampilan mereka yang "islami" itu. Hilang tanpa bekas.
Dalam dunia perpolitikan, pun tidak kalah serunya. Menjelang pemilu berlomba-lombalah mereka mendekati ummat Islam. Bahkan mereka "mem-vermak" habis-habisan penampilannya. Bicaranya yang biasa mengucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam berubah menjadi "Assalammualaikum wr.wb".rambutnya yang biasanya bebas berkeliaran kini sudah ditutupi "peci dan kerudung". Merekapun tak lupa berjanji untuk memperjuangkan aspirasi ummat islam. Namun setelah kursi diraih dan diduduki mereka LUPA UNTUK BERDIRI. Alih-alih mau memperjuangkan nilai, malah membuat kabur dan buram aspirasi ummat. Dan seperti biasa mereka menunggu saat yang tepat menggunakan topeng "islami" lagi dan ummatpun siap-siap menyambutnya.
Mas Kunto (Kuntowijoyo- red) dalam bukunya Identitas Politik Ummat Islam hal 32 mengemukakan: "Semua orang diuntut menjadi Islam secara Kaffah (baca QS Al-Baqaah (2): 208) artinya menyeluruh, sepenuhnya, komplet, total dalam internalisasi agama. ..." "Kaffah artinya seseorang tidak boleh mendua. Tidak bisa urusan ibadah mengikuti Islam tapi dalam ekonomi atau politik mengikuti sekularisme. Kalau cara ini ditempuh, seseorang bisa mengalami schizophrenia, terbelah jiwanya antara kepribadian Islam dengan non Islam"
Keterbelahan jiwa (Schizophrenia) sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahkan tidak tertutup kemungkinan hal tersebut masuk kedalam diri kita dengan atau tanpa kita sadari.
Schizophrenia yang paling berbahaya adalah yang dijalani atau diperankan oleh aktivis Islam. Kenapa? Sebab mereka adalah "aktor-aktor" pembawa nilai, yang menjadi panutan ummat. Bayangkan, bagaimana jadinya ummat bila sang aktor dengan leluasa memakai topeng dihadapan ummat? Bahkan dihadapan Allah!

Allah SWT telah menginformasikan kepada kita bahwa penyakit Schizophrenia bisa dialami oleh aktivis islam. Perhatikanlah firman Alloh berikut: "Wahai orang beriman mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar murka Allah karena kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat"(QS 61:2-3)

Teori dan praktek tak pernah sinkron. Maksud hati ingin mendekat kepada Allah apa daya kita tak pernah tahu dimana Allah berada? Dalam salah satu hadits Qudsi, Allah SWT bertanya kepada hambanya: "Wahai hambaku kenapa engkau tidak menjengukKu ketika Aku sakit? Kenapa engkau tidak memberiku makan ketika Aku kelaparan? Kenapa engkau tidak memberiKu minum ketika Aku kehausan?." Sang hamba menjawab :"Wahai Tuhan bagaimana mungkin Engkau Sakit, Lapar, dan Haus? Bukankah Engkau Tuhan Yang Maha Berkuasa? Allah menjawab:" Si Fulan(ah) Sakit, Kelaparan, Kehausan, apabla engkau menjenguknya, apabila engkau memberinya makan, apabila engkau memberinya minum, niscaya engkau akan dapati AKU disana".
Bukankah Al-Qur’an berkata: "Maka celakalah bagi mereka yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya. (QS 107: 4-5). Bahkan orang seperti ini dianggap sebagai pendusta agama.karena "tidak tahu dimana harus menemukan Allah"
Semogalah sedikit demi sedikit penyakit schzophrenia dapat kita hilangkan dari diri kita, hanya dengan bantuan-Nya lah kita dapat sebuh dan disembuhkan.
Lingkar Nubuwah 160606
Jangan Ada Luka
Cipt Ian Antono dan Iwan fals
Song by Nicky Astria dan Achmad Albar
------
Jangan ada tangis... jangan ada sedih
selamat tinggal keluh kesah
dalam perjalanan Jiwa... yang mengembara.
Jangan ada duka ...jangan ada luka
Slamat tinggal rasa bosan
Dalam perjalanan jiwa yang mengembara
Lewati belantara sunyi sendiri ...lewati padang luas kering bebatu
lewati gelombang dan bencana yang dingin ...lewati haru biru yang tak bergeming
Oh Rindu...Rindu aku tentang ketegaran jiwa
oh jiwa ...jiwa yang menggeliat bukan gelisah
Jangan menangis ... jangan bersedih lagi
jangan berduka ...jangan terluka lagi
Rasa bosan ...keluh kesah sudah pergi
Perjalanan Jiwa mendekatkan hati