Friday, October 24, 2008

"NUBUWAH"

Oleh : Muhasuh
Jika kamu (para mukmin) tidak mau tampil kemuka membela panji-panji kebenaran niscaya Allah menghukummu dengan siksaan yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain (QS 9:39)
Selepas bebas dari kejaran tentara Firaun yang ditenggelamkan Allah di lautan, sampailah Musa di suatu tempat bersama kaumnya (Bani Israil). Belum lama mereka tiba ditempat tersebut dan dalam kondisi suka cita dan keletihan yang amat sangat tersebut, muncul panggilan Tuhan kepada Musa untuk menemui-Nya di lembah Thuwa. Bani Israil yang belum sempat menghirup alam kebebasan dan belum sempat memaknai hakikat kebebasan serta belum lagi menata pranata-pranata kehidupan bermasyarakat, sudah akan ditinggalkan oleh pemimpinnya.

Namun apapun yang terjadi, perintah Tuhan adalah di atas segalanya, sebab Dia Maha Tahu apa yang hendak diperbuat-Nya. Demikianlah Musa pun selaku Nabi dan utusan-Nya tak mampu dan tak berhak untuk menolak titah tersebut. Karena pantang bagi seorang mukmin untuk melakukan negosiasi perintah Tuhan-Nya. (QS 33: 36; 24:51)

Untuk itulah Musapun sejenak merenung dan berfikir untuk mengangkat seorang pemimpin sebagai penggantinya selama ia bermunajat kepada Allah SWT. Sikap Musa tersebut merupakan cerminan sikap seorang yang bertanggungjawab kepada ummat yang dipimpinnya. Tanpa itu ummat akan terombang-ambing dan ummat akan mempersalahkan Musa.

Maka Musapun memutuskan untuk mengangkat Harun, seorang yang shalih yang mampu menerjemahkan kehendak Musa dalam membimbing ummat yang juga dipercaya oleh ummat itu sendiri. Untuk itu Musa AS mengumpulkan jajaran Bani Israil dan membeberkan tentang maksudnya itu serta tak lupa pula mengadakan pengangkatan Harun dihadapan mereka sebagai pemimpin. Pengangkatan berjalan mulus, tak ada yang merasa keberatan atas keputusan itu. Secara pribadi Musa AS menitipkan pesan pada Harun agar membuat pola pembinaan/program kerja yang terpadu, jelas, dapat difahami, tidak muluk-muluk dan tidak membingungkan ummat sehingga menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Setelah semuanya berjalan lancar, dengan perasaan lega Musa pun berangkat.(QS.7:142).

Sebagai pimpinan sementara Bani Israil, maka Harun-pun menyiapkan strategi kepemimpinannya untuk diterapkan pada Bani Israil dengan salah satu titik tumpu pada pesan Musa sebelum bermunajat. Untuk itu ia mengundang para ketua Bani Israil untuk urun rembug (meminta masukan) sambil menjabarkan rencana program kerja yang akan diterapkannya. Dalam urun rembug itu tidak ada permasalahan yang berarti, semua mengangguk tanda setuju dengan rencana-rencana yang disodorkan oleh Harun A.S dan mereka bertekad untuk mensukseskan rencana kerja tersebut (Maklumlah Harun telah cukup lama hidup ditengah-tengah mereka dan mengerti apa yang dikehendaki oleh Bani Israil).

Awalnya - ketika ia menjalankan rencana kerja hasil keputusan dan urun rembug itu, tidak ada yang menentangnya. Namun belum lama semua itu berjalan, entah apa penyebabnya, tiba-tiba terjadilah gelombang ketidaktaatan pada Harun AS yaitu berupa ketidak konsistenan pada pelaksanaan program kerja (pengabaian terhadap program kerja). Gelombang ketidaktaatan ini kian lama kian bertambah banyak hingga akhirnya secara mufakat mereka meninggalkan Harun dan beberapa pengikut yang masih konsisten. Gelombang ketidaktaatan pada Harun ini akhirnya menjadi sebuah gelombang ketidaktaatan pada garis-garis perjuangan yang telah ditetapkan. Sehingga akhirnya mereka menyimpang jauh dari nilai-nilai tauhid. (QS 7: 148)

Itulah sekelumit kejadian yang dialami oleh Ummat Musa AS, ketika ditinggal bermunajat dan tongkat kepemimpinan dipegang oleh Harun AS.

Dalam Al-Qur'an, ummat Musa adalah ummat yang telah mampu melewati masa-masa kritis dalam perjuangan kemerdekaan melawan kediktatoran Firaun, ditambah lagi ummat ini sudah begitu amat dekat dengan "Nubuwah". Yang menjadi pertanyaan mengapa Bani Israil yang baru saja dibebaskan dari genggaman Firaun kembali kepada nilai-nilai jahili? Apakah pendekatan Nubuwah (Musa dan Harun) yang salah? Atau apakah karena Nubuwah (ajaran) terlalu sulit untuk mereka realisasikan? Atau...

Nubuwah merupakan tuntunan yang diperuntukan bagi manuisa (jin), oleh karena itu Nubuwah tidaklah mungkin bila tak dapat dijangkau oleh manusia, baik Nubuwah dalam artian pertama maupun Nubuwah dalam artian kedua. Sang "Kreator" tentunya telah mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia secara menyeluruh.

Dari kisah di atas, terlihat kegagalan yang dialami oleh Bani Israil lantaran mereka kurang mau beraktifitas dan menampilkan kreatifitas untuk kemajuan Bani Israil. Mereka lebih mengharapkan segala sesuatu dikerjakan dengan perantaraan "Mukjijat". Mereka menjadi manja, tidak mau menempuh jalan "yang mendaki lagi sukar". Mereka senantiasa menyandarkan setiap problema dan kesulitan pada pundak pemimpin mereka, sebab pemimpin mereka adalah orang yang mampu membuat "Gebrakan Keajaiban" dihadapan mereka sehingga mereka terpana tanpa daya.

Al-qur'an surat 13:11 dengan amat dalam menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum manusia itu sendiri berkecenderungan dan melakukan perubahan-perubahan terlebih dahulu. Selama manusia belum/tidak berkecenderungan terhadap Nubuwah maka selamanya ia tak akan pernah merasakan manisnya nilai-nilai Nubuwah, dan selamanya dia akan menjadi makhluk yang serba bergantung. Dan andaikan manusia seperti ini tidak bergantung pada keadaan, maka ia akan menjelma menjadi makhluk yang amat sombong, egois, dan serakah. Tengoklah bagaimana Qorun dan Samiri yang merupakan manusia unggulan dideretan Bani Israil pada awalnya tiba-tiba menjelma menjadi makhluk yang buta dan jauh dari nilai-nilai Nubuwah yang selama ini hilir dihadapannya.

"Menggali" pengalaman dari kisah tersebut, tentunya suatu jamaah/ organisasi/ pergerakan hendaknya dibangun oleh insan-insan yang "berkesadaran tinggi" tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah dimuka bumi ini. Untuk itu mau tidak mau bila hendak terhindar dari masalah di atas, maka setiap insan yang ada di dalam jamaah/ organisasi/ pergerakan (secara pribadi/kelompok) meningkatkan dan mengembangkan "kesadaran diri" untuk larut dan menyatu dalam "Tubuh Nubuwah". Sebab hari ini tidaklah mungkin menunggu "Gebrakan Keajaiban" dari seorang pimpinan, dan pimpinanpun takkan mungkin mampu membuat "Gebrakan Keajaiban" tanpa turut sertanya seluruh potensi yang ada. "Gebrakan Keajaiban" hanya akan menciptakan manusia-manusia yang penuh dengan kemalasan.

Masalah peningkatan "kesadaran diri" untuk menyatu dan larut dalam "Tubuh Nubuwah" ini, sudah tidak mungkin untuk ditawar-tawar lagi. Dia harus hinggap dalam jiwa dan semangat para insan yang ada di dalam organisasi/ jamaah/ pergerakan.

Ada 2 (dua) pilihan yang diberikan Allah bagi insan yang ada alam organisasi/ jamaah/ pergerakan dalam kehidupan ini : (1) Mencapai "Tanah Harapan" dengan kesadaran diri atau (2) kandas ditelan maraknya oragisasi sejenis yang ada disekelilingnya serta tak mampu lagi mendefinisikan diri sendiri (QS. 9:39)

Bukankah kegagalan-kegagalan yang selama ini dialami oleh jamaah/ organisasi/ pergerakan islam lebih disebabkan oleh pengabaian yang teramat lama akan peran dan fungsi Nubuwah?.
....Andaikan masih ada resah eratkan lagi dekapanmu
dan sekali lagi cobalah meski lelah hati yang ada ..... (yang tercinta - Iwan Fals)

Wednesday, October 08, 2008

Alumni Ramadhan: Antara Takwa dan Tawa

Oleh : Muhasuh
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2: 183)

Beberapa waktu yang lalu ummat Islam melaksanakan Ibadah puasa (shaum) secara serentak.
Puasa (Siyam), sebagaimana yang dilansir pada ayat di atas mempunyai satu tujuan, yaitu memproses insan mukminin menjadi insan muttaqien. Proses menuju insan muttaqien dalam pelaksanaan ibadah Siyam tidak dijabarkan secara detail dalam Al-Qur’an . Al-Qur’an hanya menjelaskan secara garis besar pelaksanaan ibadah shaum. Penjelasan secara rinci perihal shaum untuk menuju takwa dijelaskan oleh Rasulullah SAW di dalam beberapa sabdanya.

Oleh karena itu apabila para shoimin ingin menuju ketakwaan,ia mesti membaca dengan seksama apa yang tertera dalam arahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW tersebut. Kemudian dengan segenap upaya diusahakan untuk direalisasikan dalam pelaksanaan ibadah shaum yang dia jalani

Namun yang terjadi pada tataran praktik, banyak diantara kita yang abai terhadap masalah tersebut, malah lebih khusu’ dan khusus mengambil arahan dari sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain yang dimaksud adalah bahwa ummat lebihbanyak terpaku pada pelaksanaan menahan lapar dan haus, sementara untuk mengisi muatan ramadhan hampir-hampir terabaikan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi kita perihal tersebut, yaitu :"Betapa banyaknya orang yang bepuasa, mereka hanya mendapatkan lapar dan haus saja..."

Oleh karena itu, maksud hati ingin membentuk diri menjadi insan yang takwa, malah berubah menjadi insan yang penuh tawa., kenapa?

Lihatlah tayangan-tayangan di televisi yang dipelototi oleh jutaan pemirsa yang sebagian amat besarnya adalah mereka yang menjalankan puasa menampilkan lawakan-lawakan yang membuat pemirsa menikmatinya dengan khusu. Dari pagi sampai pagi lagi kita disuguhi oleh kekonyolan-kekonyolan yang terus berulang dan terekam dalam benak kita. Maka dapat kita bayangkan, mau jadi apa kita setelah pelaksanaan ramadhan nanti?----

Barangkali kita mesti mentertawakan diri kita dalam melaksanakan ramadhan untuk yang kesekian kalinya ini. Setiap hari ramadhan kita lalui dengan kehampaan dan kesia-siaan. Bulan obral pahala tidak membuat kita menjadi antusias untuk melaksanakannya dengan segenap jiwa raga kita. Kita lebih antusias mengejar bulan obral di mal-mal, yang menjajakan berbagai kesenangan diri.

Kita pun jadi tertawa terhadap diri kita dalam pelaksanaan ramadhan ini. Ramadhan yang katanya bulan berbagi menjadi bulan yang penuh dengan individualis. Tengoklah kemacetan yang terjadi di jalan-jalan ibu kota pada bulan ramadhan terutama menjelang berbuka, bukan semakin mengurangi kemacetan tapi justru membuat antrean kemacetan yang amat panjang dan menjengkelkan. Keinginan untuk berbuka puasa di rumah dan bersama keluarga menyebabkan setiap individu merasa harus didahulukan kepentingannya persetan dengan kepentingan orang lain. Bulan berbagipun tidak tampak pada persiapan menyambut hari raya, kita lebih sibuk menyiapkan penganan hari raya untuk keluarga kita dalam menyambut tamu yang datang, tetangga yang kekurangan dan tak mampu untuk membeli dan membuat berbagai makanan tidak pernah kita lirik dan perhatikan. Begitu juga dalam persiapan-persiapan membeli pakaian, kita lebih mementingkan penampilan diri kita, lihatlah di mal-mal perburuan terhadap pakaian begitu amat menyita waktu dengan melupakan sepotong pakaian untuk keluarga yang tak mampu.

Kitapun jadi tertawa dalam memperhatikan sikap ber ramadhan kita, tidur lebih kita pentingkan dari beramal dan berkarya. Padahal, Konon para alim jaman dahulu menuntaskan karya dan berkarya justru pada bulan ramadhan, sementara kita? Barangkali kalau yang seringkali tidur pada siang hari bulan ramadhan si Upik dan si Buyung kita jadi amat maklum, tapi kita?

Kitapun jadi tertawa menyaksikan pergerakan/ pergeseran yang terjadi dalam hal shalat tarawih di mesjid atau tempat-tempat lainnya dan kondisi di pusat-pusat perbelanjaan (mal). Hari-hari awal Ramadhan masjid/ mushalla penuh dengan jamaah bahkan sampai ke jalan-jalan, dan mal-mal terlihat sepi. Pada menjelang pertengahan ramadhan pergeseran berimbang, dan pada akhir-akhir ramadhan terjadi pergeseran yang menyebabkan kita terbahak-bahak. Mal penuh dengan lautan manusia sementara mesjid atau mushalla ... Sunyi dan sepi. Padahal katanya pada kahir-akhir ramadhan ada yang namanya lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Tapi toh janji Allah tak membuat kita lebih bersemangat dalam beribadah diakhir-akhir ramadhan.

Kitapun jadi tertawa terbahakmenyaksikan bulan ramadhan harus kita lalui tanpa amal yang berarti, kecuali kesia-siaan seperti bulan-bulan sebelumnya atau mungkin lebih parah lagi.

Menyaksikan tingkah diri dalam beramadhan membuat kita mesti merenung lebih dalam lagi, yaitu apakah Ramadhan (Puasa/ Shiam) telah membentuk kita menjadi manusia yang berta(k)wa ? Penilaian tentang ta(k)wa ada pada diri kita. Silakan menilai diri kita sendiri.
perpisahan bukanlah duka, meski harus menyisakan luka (BB - Drive)

Labels:

Gema Syetan VS Gema Takbir

Oleh : Muhasuh