Friday, August 31, 2007

Qabil bin Adam AS

Oleh: Muhasuh

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Qabil dan Habil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata(Qabil):”Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil “Sesungguhnya Alloh hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa”. (QS5:27).

Ungkapan ayat di atas berkenaan dengan perselisihan antara keturunan Nabi Adam dari generasi pertama. Perselisihan tersebut merupakan buntut ketidakpuasan salah seorang diantara mereka pada keputusan yang diambil oleh Nabi Adam selaku orangtua dalam menentukan calon istri. Nabi Adam sebagai seorang ayah dan sekaligus sebagai Khalifah Pertama di muka bumi menjalankan syariat perihal pernikahan diantara anak-anaknya. Syariat tersebut menetapkan bahwa mereka yang lahir sebagai saudara kembar tidak boleh menikahi saudara kembarnya. Dengan demikian Qabil tidak boleh menikah dengan saudara kembarnya, demikian juga Habil. Yang diperbolehkan adalah Qabil menikah dengan saudara kembar Habil, dan Habil menikah dengan saudara kembar Qabil.

Keputusan tersebut dianggap keputusan kontroversial oleh Qabil dan menganggapnya sebagai keputusan yang tidak mendasar, tidak adil dan tidak bijaksana serta melanggar hak untuk mencari pasangan dan menikah berdasarkan rasa cinta. Bukankah pernikahan harus didasarkan atas cinta atau mau sama mau? Bagaimana mungkin akan membina rumah tangga yang harmonis bila awalnya saja sudah tidak di dasarkan atas pilihan hati? Demikian pertanyaan yang menggelayut dibenaknya. Apalagi selama ini mereka selalu bersama dan sepertinya sudah sehati

Sementara itu Habil yang merupakan adik dari Qabil menerima keputusan yang sudah ditetapkan oleh Nabi Adam. Yaitu menikah dengan saudara kembar Qabil. Penerimaan Habil bukan lantaran saudara kembar Qabil lebih cantik dari saudara kembarnya, melainkan atas dasar ketaatan pada perintah orang tua sebagai Khalifah. Bagi Habil ia akan menjalankan perintah apapun yang diberikan kepadanya dari ayah dan sekaligus Khalifah pertama itu. Karena ia yakin bahwa keptusan yang diambil pastilah untuk kemaslahatan generasi-generasi selanjutnya.

Maka terjadilah seperti peristiwa di atas, yaitu pelaksanaan amaliah (Qurban) untuk menentukan siapa diantara mereka yang benar benar ikhlas. Dalam pelaksanaan Qurbannya, Habil membawa “Qurban” yang terbaik yang dimilikinya, sementara Qabil membawa Qurban yang dianggapnya sudah tak layak konsumsi bagi dirinya. Dan seperti kita ketahui ternyata Qurban Habil-lah yang diterima. Melihat kenyataan tersebut, maka dendamlah Qabil terhadap Habil, maka terjadilah sebuah peristiwa yang pertama di bumi ini, pembunuhan pertama atas manusia.

Itulah salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi Adam AS yang mengatur tata cara pernikahan antara putra putri beliau.

Dari kisah tersebut dapat diambil bebarapa ibrah buat kita yang hidup pada zaman ini. PERTAMA bahwa syariat sejatinya bersifat lestari yang tidak boleh diterima dengan hawa nafsu, sebagaimana sifat syariat itu yang berasal dari wahyu Tuhan yang senantiasa suci dan tidak akan dapat dipegang oleh mereka yang mengumbar hawa nafsu. Bukti kelestarian syariat itu dapat kita saksikan dalam perjalanan para Nabi dalam melaksanakan pernikahan, baik untuk dirinya maupun untuk ummat yang dipimpinnya. Faktor “Cinta” (Suka) seringkali tidak kita dapatkan dalam perjalanan mereka untuk melaksanakan pernikahan. Karena umumnya definisi cinta saat ini membutuhkan bukti “Cinta” yang cenderung melanggar syariat. Pernikahan Ibrahim AS dengan Siti Hajjar atau pernikahan Musa AS dengan Safuro, atau pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab. Kesemuanya tidak dilakukan atas dasar suka sama suka terlebih dahulu, tetapi atas dasar “saran”/ titah/ perjodohan dari orang-orang lain. Apakah salah kita menikah dengan orang yang kita cintai? Tentu saja tidak. Namun bila ada Syariat menentukan lain, maka sudah tentu kita mesti memilih yang diajarkan oleh syariat, meskipun itu mengecewakan kita, seperti halnya “kekecewaan” Zaenab atas perintah Nabi untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah. Ataupun ketika Allah memerintahkan Nabinya untuk menikahi Istri bekas anak angkatnya itu. (QS 33: 36 -37). Yang tentu saja dibalik semua itu ada PESAN-PESAN yang hendak disampaikan kepada kita. Dan barangkali, “Kita” adalah produk dari pernikahan jenis ini, dimana orang tua kita tidak mengenal rasa cinta terlebih dahulu tapi melalui proses “perjodohan” yang dilakukan oleh kakek dan nenek kita.

KEDUA: Syariat yang digunakan Adam bukanlah suatu ketetapan yang diambil karena faktor ketidakadilan (pilih kasih) terhadap salah seorang putranya, tetapi merupakan suatu ketetapan yang diperintahkan “Tuhan”. Pada kasus di atas, terlihat bahwa penerapan syariat yang pertama kali di muka bumi ini ditentang, dan bahkan penentang utamanya adalah anak biologis (dan ideologis nya sekaligus). Dan penentangan itu dilakukan atas dasar hawa nafsu semata. Untuk membuktikan bahwa penentangan itu dilakukan karena hawa nafsu atau tidak, maka Allah memerintahkan kepada keduanya untuk melakukan pengorbanan. Dan ternyata dari hasil pengorbanan itu terlihat bahwa memang Qabil senantiasa memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menyerahkan segala sesuatunya pada nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Dia korbankan harta miliknya yang jelek-jelek, sementara Habil mempersembahkan korban yang paling baik yang dimilikinya.

Becermin dari kisah di atas, ternyata usaha penerapan syariat kapan dan dimanapun pasti akan senantiasa memiliki dua kutub yang berbeda yang saling berhadapan, yaitu kutub penentang dan kutub pendukung. Bagi kutub penentang syariat, upaya apapun akan dilakukan untuk mencegah terealisirnya penerapan syariat yang dimaksud. “LOGIKA” berfikir manusia senantiasa digunakan untuk meredam syariat. “LOGIKA” tersebut sepertinya dapat diterima oleh akal sehat siapapun. Cobalah kita tengok kasus QABIL di atas. Secara logika tindakan yang dilakukan oleh Qabil adalah haq, syah-syah saja dan dapat diterima oleh akal sehat kita. Bukankah urusan menentukan calon pasangan (suami/ istri) adalah hak setiap manusia? Bukankah cinta tidak dapat dipaksakan oleh siapapun? Jadi bila ada suatu “aturan” yang tidak sesuai dengan logika berfikir tersebut, berarti aturan tersebut telah melanggar hak asasi seseorang yang paling mendasar dan harus di tolak, SEKALIPUN aturan itu produk Syariat! Demikian Logika yang digunakan Qabil dan QABIL-QABIL lainnya.

Namun lihatlah dampak yang diakibatkan oleh logika berfikir Qabil tersebut. Survey-survey yang dilakukan di Indonesia, misalnya menyebutkan bahwa banyak para pelajar dan mahasiswa yang telah melakukan hubungan sex pra nikah. Atas dasar cinta dan suka sama suka banyak pasangan yang melakukan “KUMPUL KEBO. Atas dasar hak asasi pasangan sejenis bebas merajalela melakukan aktifitasnya tanpa merasa takut sedikutpun.

Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “tidak dikatakan beriman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”

Mengambil hikmah dari kisah Qabil dan Habil, mungkin kita mesti merenung lebih dalam lagi tentang logika berfikir yang selama ini kita gunakan dalam menjawab fenomena-fenomena yang berkembang di masyarakat kita. Dan ... (Sisa baris ini sengaja dikosongkan)


(Sandaran hati yang tak pernah tergapai)

2 Comments:

At 2:55 PM, Anonymous Anonymous said...

kadang manusia lupa dg keterbatasan logikanya...

apa kabar mas, lama ya gak mampir ke blogku. aku sudah pindah blog ke WP ya. yg ini :)

ayo menulis lagi

 
At 5:52 PM, Anonymous Anonymous said...

Subhanallah... Mencerahkan Akhi....
Ketika hawa nafsu dan logika yang dijadikan sebagai standard hukum kehidupan manusia, binasalah baginya...

Hanya dengan keta'atan kepada seluruh syariat Islam kehidupan menjadi berkah....

Jadi, ndak ada salahnya kalau kita bilang : "Selamatkan Indonesia dengan Syariah!"

Sebagaimana pesan komentator terdahulu : Ayo menulis lagi!

 

Post a Comment

<< Home