SELAMAT JALAN RAMADHAN
Oleh : Muhasuh
Ramadhan 1427 H baru saja meninggalkan kita. Kepergianya tidak bisa kita cegah, walau dengan cara apapun. Beragam sikap manusia dalam melepas kepergian ramadhan. Dari mereka yang memang menginginkan ramadhan segera pergi, acuh tak acuh sampai mereka yang merasa sedih ditinggalkan ramadhan. Kelompok pertama adalah mereka-mereka yang amat terkekang dengan kehadiran Ramadhan. Sikap ini diwakili oleh mereka yang gemar bermaksiat. Karena pada bulan itu hak-hak mereka dibatasi. Maka itu begitu takbir berkumandang mereka segera melaksanakan aktifitas maksiyatnya. Kelompok acuh tak acuh diwakili oleh mereka yang sekedarnya berpuasa tanpa menghiraukan aspek-aspek pembangunan ruhani. Bagi mereka ramadhan atau tidak sama saja. Dan kelompok ketiga adalah mereka yang berusaha menjalankan latihan-latihan ramadhan dengan keseriusan agar dapat menerapkannya pada bulan-bulan berikutnya.
Ramadhan memang semestinya meninggalkan kita, setelah satu bulan penuh memberikan berbagai latihan kepada kita. Dia tidak ingin kita bermanja ria atau bersikap tidak dewasa. Ibarat seorang bocah, ia tidak akan mampu berjalan selama ia diperlakukan bagai bayi terus menerus. Ia harus dilatih berjalan, dan setelah setapak demi setapak ia berjalan maka ia akan mencoba lebih jauh lagi dalam upayanya untuk mampu berjalan tanpa bimbingan dan iming-iming apa dan siapapun.
Demikian juga dengan ramadhan, dia telah memberikan berbagai bimbingan/ latihan kepada kita baik berupa keshabaran, cinta Al-qur’an (Tadarus), menyayangi sesama, memberi makan yang kekurangan, shadaqah, shalat malam, cinta Mesjid dan lain-lain bimbingan agar kita dapat terus mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut setelah ditinggalkan ramadhan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kita senantiasa ingin menjadi bocah terus menerus yang setiap saat harus dibimbing dan di iming-imingi. Tanpa itu kita tidak mau berusaha untuk menerapkan latihan berjalan.
Lihatlah kebiasaan kita setelah ramadhan pergi. Latihan shalat tarawih (shalat Lail) yang diajarkan ramadhan kepada kita selama satu bulan penuh tiba-tiba lenyap begitu saja. Lihatlah kebiasaan kita yang tidak mau ketinggalan shalat Isya/ shubuh berjamaah DI MASJID serta merta surut dengan perginya bulan ramadhan. Dan lihatlah kebiasaan tadarus kita selama bulan ramadhan, 30 juz kita GEBER agar tuntas pada bulan ramadhan, dan setelah ramadhan pergi Qur’an kita taruh kembali di dalam lemari dan kita kunci. Lihatlah kebiasaan-kebiasaan memberi makan fakir miskin, yatim piatu yang pada bulan ramadhan berlomba-lomba mengadakan buka puasa bersama fakir miskin dan yatim piatu tiba-tiba dengan perginya bulan ramadhan mereka kita biarkan kelaparan. Tengoklah kebiasaan kita memberi shadaqah pada bulan ramadhan, dan bersamaan dengan perginya bulan ramadhan kebiasaan itu sedikit demi sedikit kita tinggalkan.
Barangkali keinginan kita akan beribadah lebih tekun dan giat bila diiming-imingi “PAHALA” yang melimpah ruah seperti pada bulan ramadhan. Tanpa itu kita tidak termotivasi dan enggan melaksanakannya.
Kita menganggap Ramadhan adalah puncak ibadah karena melimpah ruahnya Rahmat Allah pada bulan itu, dari hal-hal yang sunnah di”kelaskan” menjadi wajib, pahala dilipatgandakan sesuai keinginan Allah, tidurnyapun dianggap ibadah dan ada satu malam yang bernilai 1000 bulan. Padahal “ibadah” sesungguhnya baru dimulai ketika bulan syawal tiba. Pada bulan itu dan bulan-bulan berikutnya akan terlihat apakah ibadah-ibadah kita serta kebiasaan-kebiasaan kita selama bulan Ramadhan termanifestasikan pada bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya atau tidak? Seperti Shaum, Shalat Lail, tadarus Qur’an, Shadaqah, memberi makan dan lain-lainnya yang biasa kita kerjakan pada bulan Ramadhan. Bila tetap dan terus berjalan berarti latihan ramadhan telah berhasil membentuk kita menjadi manusia-manusia yang taqwa, namun bila sebaliknya kita menjadi orang-orang yang gagal merealisasikan keinginan ramadhan, maka berintrospeksi dan berdoalah agar kita dapat bertemu Ramadhan tahun berikutnya
Ya ... Ramadhan telah pergi. Kita ucapkan selamat Jalan insya Allah kita bertemu ditahun depan, namun haruskah ucapan selamat Jalan bagi Ramadhan berlaku juga bagi ibadah-ibadah yang ada didalamnya? Dengan kata lain haruskah kita ucapkan:
Selamat Jalan Ramadhan.!
Selamat Jalan Shalat Lail!
Selamat Jalan Tadarus Qur’an!
Selamat Jalan Shadaqah!
Selamat Jalan memberi makan orang-orang yang membutuhkan!.
Selamat Jalan Shalat berjamaah!
Selamat jalan segala kebaikan!
Wallahu ‘Alam bisshowab.
Betapapun rindunya aku ingin bertemu denganMU
terasa panjang hari-hari yang harus aku lewati (EGA)
1 Comments:
Akh, saya merinding membacanya...... :(
Ya Allah, pandulah kami dalam hidayah dan taufiq dari-Mu!
Post a Comment
<< Home