Monday, September 25, 2006

Pantaskah Kita menerima "Anugerah" Ramadhan

Oleh : Muhasuh

Firman Allah

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa (shiam) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS 2: 183)

Ayat di atas adalah ayat yang senantiasa menjadi sandaran dan dasar ummat Islam dalam menjalankan kewajibannya menjalankan Ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Pada ayat tersebut ada seruan untuk menjalankan ibadah puasa dan ada tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan ibadah puasa. Seruan yang dimaksud adalah bahwa “puasa” secara khusus ditujukan/ diserukan kepada orang-orang yang beriman dengan tujuan mencapai derajat takwa.

Pada tulisan ini sekilas akan dibahas perihal seruan kepada orang-orang beriman, yang meliputi ciri-ciri manusia yang dipanggil untuk melaksanakannya. Dari ciri-ciri yang akan disampaikan tersebut hendaknya menjadi bahan renungan diri yang sudah berkali-kali melaksanakan ibadah shaum ramadhan, sehingga nantinya akan mengubah cara “ber-ramadhan” kita menjadi ber-ramadhan yang benar-benar menuju takwa.. Ciri-ciri/ karakteristik yang dimaksud kita ambil dari pengertian/ definisi “Mukmin” menurut Al-Qur’an.

Perhatikanlah firman Allah dalam surat Al-Mukminun (QS 23: 1-11)
1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
2. yaitu orang yang khusu dalam shalatnya,
3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
4. dan orang yang menunaikan zakat
5. dan orang-orang yang memelihara kemaluannya
6. kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yan mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela
7. tetapi barangsiapa mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas
8. dan orang yang memelihara amanat dan janjinya
9. serta orang yang memelihara salatnya
10. mereka itulah orang yang akan mewarisi
11. yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.

Juga lihat surat Al-Anfal (8: 2 – 4); Alhujurat (QS 49 : 15)

Membaca terjemahan ayat di atas perihal definisi mukmin seperti yang diungkap dalam ayat-ayat tersebut di atas bila kita perhatikan satu per satu mungkin amat mengecewakan kita, sebab sebagian besar dari ciri-ciri itu tidak terdapat dalam diri kita. Kita mungkin amat terperangah sebab seruan yang dimaksud ditujukan bagi mereka yang benar benar melaksanakan Islam secara kaffah (QS 2: 208).

Setiap kali ramadhan tiba seakan-akan kita ke GE-ER an, setiap kali Allah menyeru orang-orang beriman, kita tampil kemuka dengan bangganya. Sepertinya kita lupa bahwa kita “belum” memenuhi kriteria yang dimaksud. Barangkali sikap kita tak ubahnya seperti sikap orang Arab Badui yang dengan spontan berseru : “Orang-orang Arab Badui berkata, Kami telah beriman”, (QS 49: 14) pernyataan tersebut langsung dikoreksi oleh Allah dalam lanjutan ayat yang sama: “katakanlah (kepada mereka) ‘kamu belum beriman, tetapi katakanlah, kami telah tunduk (islam), karena iman belum masuk kedalam hatimu.

Ya harus kita akui bahwa iman belum masuk kedalam hati kita secara ajeg. Kalau iman belum masuk secara ajeg, mungkinkah tujuan terbentuknya insan muttaqin akan terwujud? Kalau iman belum masuk secara ajeg ke dalam hati kita, pantaskah kita menerima “anugerah” shaum ramadhan? Memang di dalam salah satu hadits dikemukakan bahwa iman kadang naik, kadang turun, namun kita harus memahami kapan/ kenapa iman itu naik, dan kapan/ kenapa iman itu turun. Sehingga kita tak berlindung pada hadits tersebut untuk membenarkan penurunan iman kita. Kalau kita mengetahui saat-saat iman naik, maka tingkatkanlah saat-saat itu, dan kalau kita mengetahui saat-saat iman turun, maka tinggalkanlah saat-saat itu, yang dengan demikian sedikit-demi sedikit iman akan senantiasa naik.

Namun pada kenyataannya acapkali kita jarang berintrospeksi (peduli) perihal tersebut, sehingga kita tidak pernah mengetahui kapan iman kita naik dan kapan iman kita turun? Yang ada dalam benak kita adalah ke-ajeg-an iman kita. Sehingga cukup bagi kita beramal seadanya. Kalau sikap kita seperti itu pantaskah kita menerima “anugerah” shaum ramadhan? Yaitu suatu anugerah yang hanya Allah sendirilah yang menentukannya.

Ibarat orang yang ingin bisa naik sepeda, tentu dia akan berlatih terus menerus, dan dalam setiap latihannya dia akan terus berintrospeksi, mana yang membuatnya jatuh dan mana yang membuatnya semakin ajeg. Kalau ini tidak dilakukan tentu ia selamanya tidak akan pernah bisa naik sepeda.

Demikian juga dengan kita, tak perlulah kita berkecil hati dengan kriteria-kriteria tersebut dan kemudian menjauh dari pusaran Ramadhan, tapi tunjukanlah pada-Nya bahwa kita berlatih secara sungguh-sungguh dan terus menerus dalam upaya menuju keimanan yang sempurna dan itu bisa dibuktikan dengan sikap ber-ramadhan kita. Dan sikap itu akan membentuk keprbadian kita sebelas bulan ke depan. Semoga sikap ramadhan kita tidak lagi melulu mempertanyakan perihal dengan menu apa kita berbuka dan sahur/ atau akan shalat tarawih dimanakah kita malam ini? Tapi cobalah kita tingkatkan kualitas ramadhan kita agar kita menjadi orang-orang yang memang diseru oleh Allah untuk menjalankan Shaum Ramadhan.

Semogalah kita memang PANTAS MENERIMA ANUGERAH SHAUM RAMADHAN. SEMOGA.

(Menjelang Ramadhan 1427H, suatu upaya penggedoran jiwa)

3 Comments:

At 8:19 AM, Anonymous Anonymous said...

Yang harus digarisbawahi, kriteria itu harus berpijak pada Tauhid. Sepanjang dalam hati masih bersarang ini atau itu, mahluk ini atau mahluk itu, maka ia masih dalam keadaan terpencil dari Allah. Kita sedang belajar dari puasa syari'at menuju puasa hakikat.

 
At 5:39 PM, Blogger penakayu said...

Semoga sama-sama mendapat anugrah Bang. Amien

 
At 12:35 AM, Anonymous Anonymous said...

Amin.

 

Post a Comment

<< Home