Friday, May 19, 2006

antara "wajib dan sunnah"

oleh : Muhasuh
Melaksanakan ibadah sunnah dengan rutin mungkin dambaan kita semua. Ibadah sunnah tentu saja akan menambah ‘amal” yang akan kita bawa kehadapan Allah setelah kita mati kelak. Dalam upaya itulah kita acapkali meluangkan waktu untuknya dan bahkan kita menganggapnya sudah menjadi keharusan, maka itu kita sudah memiliki jadual-jadual untuk melakukan ibadah-ibadah tadi. Jadual rutin itu umumnya sebagai berikut shalat dhuha, puasa senen – kemis, puasa tengah bulan, puasa Nabi Daud, baca Qur’an, shalat malam, shalat-shalat sunnah lainnya dan lain-lain. Sebelum jadual kita laksanakan, kita tidak mau untuk memenuhi hal-hal yang lain, yang kita anggap tidak bermanfat.

Melaksanakan Ibadah sunnah, memang “mengasyikkan” , saking asyiknya, kita menjadi tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Artinya kita sulit untuk menentukan/ membedakan “mana yang wajib” dan “Mana yang sunnah”, dan bagaimana sikap kita terhadap keduanya. Permasalahan seperti ini, pernah saya terima dari pengaduan salah seorang Akhwat yang telah berumah tangga, yang merasa ibadah (sunnah)nya tidak dapat berkembang lantaran ia mendengar hadits “Seorang istri tidak boleh melakukan puasa sunnah, kalau tidak mendapat izin dari suaminya” . “bagaimana saya dapat menambah amal-amal saya kalau suami saya kadang-kadang tidak mengijinkan saya untuk melaksanakannya? Katanya lagi”. Hal-hal tersebut berlaku juga untuk ibadah-ibadah sunnah lainnya. Kesan yang tertangkap dari ucapan akhwat tadi mungkin begini: “betapa tidak enaknya menjadi seorang istri (wanita), karena untuk meningkatkan spiritualitas diri saja harus seizin suaminya”. Barang kali hal ini yang melatarbelakangi para gadis (akhwat) untuk tidak segera menikah kali ya.(???)

Untuk melihat lebih jelas permaslahan ini, ada baiknya kita mencoba membaca hadits yang berkenaan dengan permasalaha ini (Hadits cerita). Hadits ini bagian dari tulisan “Bayi Bicara”.

Dari Abi Hurairah ra, Rasululloh saw bersabda: “Tidak ada yang dapat berbicara ketika bayi kecuali tiga orang, yaitu Isa bin Maryam dan anak yang membebaskan Juraij (yang satunya ada dalam “Bayi Bicara”) Juraij adalah seorang ahli ibadah yang membuat sauma’ah (biara) untuk ibadatnya. Pada suatu hariibunya dating memanggil, sedang ia masih shalat, maka iapun berkata, Tuhanku itulah ibuku, dan kini aku sedang shalat. Maka iapun melanjutkan shalatnya, sehingga pulanglah ibunya. Keesokan harinya, ibunya datang kembali diwaktu Jraij sedang shalat, sehingga ia tidak dapat menyambut panggilan ibunya. Kemudian ibunya dating untuk ketiga kalinya, sedang Juraij masih shalat, maka iapun memanggil, Hai Juraij. “Ya Tuhanku, itulah ibuku, dan ini shalatku”

Sehingga marahlah Ibu Juraij dan berdoa, “Ya Alloh jangan Engkau matikan dia sehingga ia melihat wajah perempuan lacur” Juraij memang terkenal benar sebagai seorang ‘abid (ahli ibadah) diantara Bani Israil, sehingga terjadi seorang pelacur yang terkenal kecantikannya berkata, “Saya dapat menggugurkan ibadah Juraij”. Maka pelacur itu berusaha merayu Juraij dengan segala daya tarikny, tetapi ternyata Juraij tidak dapat tergoda olehnya, sehingga pelacur itupun jengkel. Lalu berzinahlah ia dengan seorang penggembala yang tidak jauh dari biara Juraiz, sehingga hamillah ia. Ketika bayi yang sedang dikandungnya telah lahir, ia berkata:”Anak ini adalah hasil hubunganku dengan Juraij. Maka ketika orang-orang mendengar itu, segera mereka pergi ke biara Juraij dan memaksa turun dari Biara. Kemudian dihancurkanlah biara itu oleh semua orang yang dating, sedang Juraij pun mereka pukuli. Maka bertanyalah Juraij, mengapa kamu berbuat demikian? Apakah sebabnya?” jawab mereka, Engkau telah berzina dengan pelacur ini, sehingga beranak darimu. Berkata Juraij, dimanakah bayinya? Maka dibawalah bayi itu kepadanya, kemudian Juraij berkata, lepaskan aku untuk melakukan shalat dulu. Setelah shalat, Juraij mendekat kepada bayi itu dan menekankan dengan jarinya, sambil berkata, Siapa ayahmu?” Jawab bayi, “Si Fulan Penggembala itu”. Ketika mereka mendengar jawaban bayi itu, kembali mereka menciumi dan memeluk Juraij sambil berkata, Sukakah kami bangun kembali biara itu dari emas? “Jawab Juraij, tidak, kembalikankan saja seperti semula”. Maka segeralah mereka bersama-sama membanun kembali biara Juraij yang telah mereka hancurkan,….(HR Bukhari Muslim) HKC 103-104

Pada kisah di atas kita lihat “kejengkelan” seorang Ibu atas sikap anaknya yang tidak “menyahut” ketika dipanggil, malah terus asyik dalam shalat sunnahnya.

Dalam pandangan islam memenuhi panggilan Orang tua (Apalagi Ibu) adalah suatu kewajiban utama. Al-Quran (QS 46: 17) melarang kita untuk berkata “ah/ cis” dan sejenisnya apalagi bila kita tidak menjawab panggilannya. Sementara shalat sunnah yang dilakukan oleh Juraij sampai kapanpun jatuhnya tetap sunnah. Nah ketika kedua kepentingan ini bertemu, maka salah satunya harus dapat kita kalahkan. Yang mana? Tentu saja yang sunnahlah yang harus kita kalahkan.

Rasulullah SAW memberi contoh yang baik ketika beliau harus mempercepat bacaan shalat wajibnya, karena beliau mendengar ada anak yang menangis. Beliau khawatir ibunya dan jamaah lainnya akan terganggu dengan tangis anak tersebut. bayangkan untuk urusan yang wajib saja Rasululloh mempercepat bacaan shalatnya. Atau ketika kita sedang shalat sunnah dan ada tamu mengucapkan salam, mana yang harus kita “lakukan”. Menjawab salam adalah wajib hukumnya, sementara shalat sunnah. Ya .. sunnah hukumnya. Coba bandingkan dengan apa yang kita lakukan.

Untuk menjawab keluh kesah “istri yang harus berizin” untuk melaksanakan ibadah sunnah (puasa) cukup dengan berfikir sederhana seperti tersebut di atas. Wajib mana antara memenuhi kebutuhan suami (istri) dengan ibadah wajib? Sebenarnya terhadap kasus seperti ini, istri mendapat dua kegembiraan, pertama “kegembiraan “ memenuhi panggilan suaminya dan yang kedua, amal ibadahnya (sunnah) tercatat disisi Allah meskipun tidak dilaksanakan. (Innamal ‘a malu binniyat).

Dalam pergaulan, sering kali kita menemukan hal-hal tersebut, dan seringkali pula hal yang wajib kita nomorduakan. Contoh ketika kita ada janji dengan rekan kita pada jam tertentu dan tempat tertentu, dan kebetulan kita tidak dapat tepat waktu memenuhinya lantaran kita shalat dhuha atau khatam Al-Qur’an. Ketika bertemu, dengan enteng kita bilang “Maaf ya terlambat, tadi habis shalat dhuha/ Baca Quran dulu”. Sementara Qur’an mengajarkan kita untuk memenuhi akad (janji), dan shalat mengajarkan kita untuk tepat waktu.

Terkadang dalam hal keinginan untuk meningkatkan nilai ruhani diri, acapkali kita mengabaikan hal-hal yang seharusnya dikedepankan, sehingga sifat “ego” seringpula menguasai kita dalam hal ibadah sunnah. Semoga senantiasalah kita dapat membedakan mana yang wajib dan mana yang sunnah agar kita tidak tergelincir di mata Tuhan.

1 Comments:

At 3:20 PM, Anonymous Anonymous said...

Terlepas dari apakah itu wajib dan sunah, memang segala sesuatu mesti diletakkan pada tempatnya. Berkaitan dengan amalan khusus dalam ibadah, juga mutlak berlaku ketentuan seperti itu. Misalnya, tidak mungkin kita membaca surah al fatihah pada saat posisi sujud dalam solat. Meskipun secara umum membaca al fatihah adalah suatu kebaikan dan mendapatkan ganjaran dari Alloh. Tetapi karena dibaca pada tempat yang bukan sebenarnya, bukan mendapat kebaikan tetapi malah dianggap suatu penyimpangan. Demikian pula, tidaklah pada tempatnya kita membuang tumpukan sampah ke dalam kali, dengan tujuan untuk membersihkan rumah kita dari sampah tersebut. Tidak mungkin memerangi kezaliman penguasa dengan kezaliman yang ada pada diri kita pula. Sedangkan pelakasanaan ibadah apapun ibadah tersebut, bukan didasari oleh niatan memperbanyak amal, tetapi karena kita ridho kepada Alloh dan mengharap Alloh ridho pula kepada kita. Tidak ada satupun manusia yang dapat selamat kembali menghadap Alloh dengan mengandalkan banyaknya amal.

 

Post a Comment

<< Home