Wednesday, April 12, 2006

Bayi Bicara

Oleh : Muhasuh

Di dalam hadits Nabi dikemukakan tentang tiga bayi yang dapat berbicara, yaitu (1) Isa binti Maryam, (2) Bayi dalam kisah Juraiz (insyaAlloh akan dibahas dalam tulisan tersendiri), (3) bayi yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Dalam pemaparan tentang tema di atas, bukan perihal bayi yang dapat berbicara yang diangkat dalam pembahasan, namun kita mencoba untuk mengambil hikmah dari kisah tersebut dengan berusaha mengaitkannya dengan kondisi-kondisi yang sering kita hadapi. Simbol-simbol yang ditampilkan dalam kisah tersebutlah yang harus kita ambil hikmahnya. Semoga tulisan singkat ini dapat membuka mata hati kita untuk merenung lebih dalam lagi. Selamat menikmati.

Sabda Rasulullah SAW:
Ketika ada seorang bayi sedang menyusu pada ibunya, tiba-tiba ada seorang berkendaraan yang mewah sekali, maka berkata si ibu: : Ya Alloh, jadikanlah putraku ini seperti orang itu. Mendadak bayi itu melepaskan mulutnya dan melihat pada orang yang berkendaraan itu sambil berkata: Ya Alloh jangan Engkau jadikan saya seperti orang itu, lalu melanjutkan menyusu lagi. Kemudian tiada lama ada seorang budak dipukuli oleh majikannya sambil dikatakan: Kau pencuri, kau pelacur. Sedang budak itu hanya membaca Hasbiyallohu wani’mal wakil. Maka ibunya berkata : Ya Alloh jangan dijadikan anakku ini seperti orang itu. Maka bayi itu segera menghentikan aktifitas menyusunya dan melihat pada budak yang dianiaya itu sambil berdoa: Ya Alloh jadikanlah saya seperti orang itu. Kemudian terjadi tanya jawab antara ibu dengan bayinya. Berkata ibu : Tadi ada orang mewah, saya berdo’a : Ya Alloh jadikanlah putraku seperti dia. Mendadak kau berkata : Ya Alloh jangan Kau jadikan saya seperti dia. Kemudian ada budak dipukuli karena berzina, mencuri dan saya berdo’a: Ya Alloh jangan jadikan putraku seperti dia. Mendadak kau berdo’a : Ya Alloh jadikanlah saya seperti dia. Jawab si bayi : Orang laki-laki yang gagah tadi adalah orang yang sangat kejam, sedang budak itu dituduh berzina padahal tidak berzina, dituduh mencuri padahal tidak mencuri, maka saya berdo’a : Ya Alloh jadikanlah saya seperti dia. (Bukhori Muslim)---
Seringkali kita menilai orang lain dari kulit luarnya saja. Bagi kita kemewahan, kekayaan, pangkat/ kedudukan yang tinggi menunjukkan kebahagiaan, dan sebaliknya kemiskinan menunjukkan kesengsaraan. Padahal yang nampak dari luar belum tentu menunjukkan apa yang ada di dalamnya. Ibarat buah yang kulit luarnya bagus belum tentu isinya bagus juga.
Dalam pentas kehidupan dunia seringkali perlakuan kepada keduanya, yaitu yang kaya dan miskin amat sangat berbeda. Seorang yang kaya, berkedudukan akan mendapat perlakuan yang istimewa, Kehadirannya disambut dengan senyum mengembang, diberikan karpet merah, atau kita berlomba-lomba untuk dekat dengannya bagaikan semut mengerubungi gula, dan minta foto bersama sebagai kenang-kenangan.
Sementara mereka yang papa lagi miskin, tidak memiliki kedudukan akan dilihat dengan sebelah mata. Kehadirannya disambut dengan senyum terpaksa. Sambutannyapun dengan sambutan seadanya, karena sesungguhnya kita malas untuk bertemu dengannya. Apalagi sekedar berbincang, yang ada paling-paling bincang-bincang basa basi.
Hal-hal tersebut dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari disekeliling kita. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kitapun ada di dalamnya sambil menikmati kelakuan kita tersebut. Betapa sangat kontras perlakuan kita terhadap keduanya. Jauh... jauh dan sangat jauh.
Memang seseorang yang senantiasa terpedaya oleh gerlapnya dunia cenderung melihat sesuatu dari sisi ini (sisi luar). Atau seseorang yang diterpa kemiskinan seringkali mengharapkan dirinya seperti orang yang kaya (berangan-angan).
Dalam Al-Qur'an Alloh menampilkan adegan tersebut. firman-Nya: "Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dengan kemegahan. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: 'moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia mempunyai keberuntungan yang besar' "(QS 28:79)
Inilah penilaian yang diberikan oleh orang-orang yang kurang/ tidak memiliki pemahaman yang utuh akan hakekat kehidupan yang cenderung tidak shabaran dalam menjalani hari-hari dalam kehidupannya. Mereka ingin cepat kaya secara instan, kalau melihat kemewahan selalu berangan-angan. Baginya dengan hartalah terletak kehormatan dan martabat dalam kehidupan.
Pandangan yang sebaliknya ditampilkan pula oleh Alloh dalam ayat selanjutnya. Firman-Nya: "Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: 'Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Alloh adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali bagi orang-orang yang shabar'" (QS28:80)
Manusia yang memiliki pandangan seperti ini, adalah manusia yang memahami hakekat kehidupan. Karena mereka yakin harta takkan mampu mengantarkanmereka pada kebahagiaan yang hakiki, hanya keimanan yang kuat
Memahami maksud hadits di atas dengan simbol yang ditampilkannya yaitu seorang ibu, bayi, pembesar, simiskin yang papa dan para pengiring. kita mendapatkan beberapa penjelasan dari simbol yang ditampilkan tersebut.
Si Ibu adalah simbol atau sosok manusia kebanyakan yang belum memiliki pengetahuan yang benar-benar utuh akan makna hidup dan kehidupan atau belum mendapatkan informasi yang benar tentang hakekat kehidupan, sehingga ia hanya dapat menangkap enaknya hidup sebagai orang yang berpunya. Atau mungkin si Ibu merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang yang tidak berpunya, yang setiap saat diperlakukan tidak semestinya oleh orang-orang yang berpunya, yang setiap saat harus membanting tulang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga berat rasanya menjalani hari-harinya. Berat rasanya beban yang menggayuti pundaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berat rasanya melihat harga-harga kebutuhan hidup yang terus menerus tidak mau turun, sehingga dia berangan-angan/ bercita-cita agar kelak anaknya menjadi orang kaya, bagaimanapun caranya.
Sementara si bayi mewakili orang-orang yang jernih dalam melihat atau menilai sesuatu. Orang yang tidak terpedaya akan kehidupan dunia dan tidak terkecoh dengan sandiwara dunia yang dilihatnya dan merupakan orang yang jujur dalam kehidupannya.
Sosok bayi dalam ajaran islam acapkali dijadikan sebagai simbol dari kebersihan/ kesucian jiwa. Dalam beberapa hadits dikatakan: "... bersih/suci bagaikan bayi yang baru dilahirkan". Orang yang telah selesai melaksanakan shaum dan haji dengan benar maka dosanya dihapuskan bagaikan bayi yang baru lahir. Dengan kata lain ia adalah simbol dari manusia yang terus menerus mengasah seluruh potensi yang dimilikinya agar sesuai dengan kehendak pemberi potensi itu sendiri. Dia adalah sosok yang tidak pernah mau berkompromi dengan segala bentuk kepalsuan kehidupan dunia. Dia adalah bagaikan musafir yang memahami hakekat beban perjalanan yang harus di bawanya, sehingga ia tidak pernah diperdaya oleh fatamorgana dunia. Dia adalah sosok manusia "aneh", "asing", "terasing", "diasingkan". Aneh dan asing di tengah dunia kepalsuan dan fatamorgana.
Sosok pembesar adalah orang yang "gila" terhadap kekayaan dan kemewahan serta penghormatan. Sehingga ia dapat melakukan apa saja dengan harta kekayaannya. Baginya apapun dapat dibeli. Inilah manusia yang rakus, manusia yang tidak peduli terhadap sekelilingnya, yang hari ini dapat kita saksikan dalam kehidupan kita. Dia dapat berubah wajah, kadang-kadang dia berwajah "dermawan" karena ada kepentingan pribadi didalamnya. Kadang ia berwajah "ular" karena begitu rakusnya terhadap kekayaan, kemewahan.
Sosok sihina yang ditampilkan dalam hadits di atas adalah segolongan kecil dari masyarakat. Mereka yang jujur dan lurus. Namun karena kejujurannya itulah sosok si hina ini seringkali dijadikan kambing hitam atas setiap permasalahan Karena ia tidak memiliki kekuasaan, dan tak mampu membeli hukum dan aparat hukum.
Sementara sosok mereka yang mengiringi si pembesar dan memukuli si hina adalah simbol dari sebagian besar masyarakat kita yang cenderung melihat segala sesuatunya berdasarkan kepentingan materi. Ia tidak peduli terhadap kebenaran. Baginya yang mampu memberi materi lebih banyak, itulah yang harus di dukung dan dihormati dengan segenap jiwa raganya.

Dalam upaya memahami hakekat kehidupan, mau tidak mau kita mesti membersihkan diri kita sehingga kita dapat memandang dengan jernih setiap aktifitas kehidupan ini. Kita perlu untuk mencari air dan jangan sekali-kali kita mengejar fatamorgana. Sekali kita mengejar fatamorgana, maka kekecewaanlah yang akan kita dapatkan.

1 Comments:

At 4:12 AM, Blogger Bangpay said...

Barakallah!!

busyet di intranet gw baca tulisan dg tema kayak hgini eh sekarang baca lagi disini... ini pasti pertanda!! pertanda... halah!!

 

Post a Comment

<< Home