Kemusyrikan dalam diri kita
Oleh : Muhasuh
Membicarakan dan melihat kemusyrikan yang terjadi disekitar kita seperti yang sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya memang “amat mengasyikan”, sebab emosi kita begitu kuat dan bebasnya keluar, bisa dengan mencemooh, geram, geleng-geleng kepala, sumpah serapah, membatin dan banyak lagi ekspresi yang kita tampilkan. Ekspresi-ekspresi tersebut memang amatlah wajar karena keinginan yang ada dalam diri untuk senantiasa “mengesakan” Allah dalam segala aspek kehidupan begitu kuatnya, sehingga sedikit saja orang lain yang ada disekitar kita melakukan kemusyrikan langsung “darah” kita mendidih sampai ke otak.
Tapi bagaimana jadinya kalau ternyata “kemusyrikan” itu ada dalam diri kita tanpa kita sendiri menyadarinya?
Memang mudah menjadi pengamat dalam aspek apapun yang menarik perhatian kita, seperti dalam Piala Dunia yang lalu, kita begitu hebatnya bagai seorang ahli menjelek-jelekkan penampilan pemain atau Tim suatu kesebelasan, bahkan pelatihpun kita “b*g*-b*g**n karena kalah dalam pertandingan dan dianggap salah dalam menerapkan strategi permainan. Tapi untuk bermain kita gak becus. Sekali lagi memang mudah menjadi pengamat. Ibarat pepatah Gajah diseberang Lautan tampak, sementara kuman dipelupuk mata tak tampak (???).
Demikianlah yang terjadi dengan kemusyrikan yang ada dalam diri kita. Kita amat ahli menilai kemusyrikan orang lain/ sekitar kita sementara untuk diri kita sendiri bagaikan melihat kuman dipelupuk mata(???). jenis kemusyrikan ini amat samar, tidak terlihat oleh mata telanjang sehingga amat sulit bagi orang lain bahkan diri kita sendiri untuk mendeteksinya,. Inilah jenis syirik yang dikatakan oleh Nabi “bagaikan semut hitam berjalan dibatu hitam pada gelap malam”. Jenis syirik yang sulit dideteksi, ia ada namun kita anggap tidak ada. Dia bagaikan kanker yang tiba-tiba sudah menggerogoti diri kita dan tiba-tiba sudah mencapai stadium 3.
Pada tulisan ini akan dibahas secara amat singkat surat Al-Ikhlas, yaitu surat yang bernilai sepertiga Al-Qur’an, yang dijadikan sebagai dasar dari inti Tauhid oleh Islam. Bahasan ini tidak menggunakan pendekatan dari sisi bahasa namun dengan menggunakan tanda baca seperti pada tulisan saya sebelumnya. Dengan bahasan ini diharapkan kita mampu untuk mendeteksi “kanker syirik” di dalam diri kita, sehingga kita senantiasa awas terhadap gejala awal dari kanker syirik ini.
Marilah kita perhatikan terjemahan Surat Al Ikhlas (QS 112 : 1-4) berikut ini: (1) Katakanlah : Dia-lah Allah yang Maha Esa; (2)Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; (3). Dia tidak beranak dan tidak diperanakan; (4) Dan Tiada sesuatupun yang setara dengan DIA
Semua muslim bahkan anak TK pun sudah hafal dengan Surat Al-ikhlas ini. Surat yang merupakan pilihan dalam melaksanakan shalat, dikarenakan ayatnya pendek-pendek Membaca ayat-ayat surat Al-Ikhlas di atas, separtinya biasa saja. Tiada sesuatu yang istimewa, terlebih kita sudah meletakkan dinding bahwa ayat itu menegaskan kita (ummat Islam) adalah manusia-manusia Tauhid, satu-satunya pemeluk agama yang meng-Esakan Tuhan. Tidak seperti pemeluk agama lain.
Tapi cobalah kita tengok, berhenti sejenak, teliti satu-persatu ayat tersebut dengan metode tanda tanya (?), apa yang terjadi dengan diri kita? Masihkah kita menganggap diri sebagai manusia Tauhid?
Baru saja kita membaca ayat pertama dari surat tersebut, kita hampir bahkan sudah terpental dari lingkar manusia Tauhid, dan menuju menjadi manusia musyrik. Perhatikanlah bunyi ayatnya : Katakanlah Dialah Allah yang Esa. Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya penggerak dalam melakukan aktifitas kita. Apapun yang kita lakukan, bidang apapun yang kita masuki dan geluti, haruslah Dia yang menjadi “motor penggeraknya” tidak boleh yang lain. Sekali kita selipkan yang lain dalam aktifitas kita, jadilah kita menuju kepada kemusyrikan diri. Perhatikanlah firman Allah dalam QS 45: 23 Jo QS 25:43 :” Pernahkan kamu perhatikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.....”. informasi yang amat berharga ini datang dari Yang Maha Tahu, yang menegaskan bahwa ada manusia yang pandangan, perkataan, tindakannya hanya menuruti hawa nafsunya saja dan tidak mengikuti Yang Maha Tahu. Barangkali itulah rahasia “Bismillah” yang diwajibkan kita baca (?) dalam segala awal tindakan kebaikan yang akan kita lakukan.
Memasuki bacaan ayat yang kedua, dahi kitapun tambah berkerut, “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Benarkah? Secara teori benar, tapi dalam tataran praktek, jawabannya menjadi agak abu-abu. Perhatikanlah sikap kita dalam menghadapi persoalan hidup, tekanan kehidupan yang begitu buasnya membuat sebagian kita bergantung pada yang lain selain DIA. Banyak diantara kita yang lupa diri ketika ujian datang menghantam kita. Bukannya lebih menggantungkan diri kepadaNya ketika hantaman itu datang malah sebaliknya, sedikit demi sedikit kita mencoba untuk melepaskan “gantungan” tersebut. Jadilah kita manusia liar (“lier?”).
Ayat yang ketiga membuat bibir kita tak mampu untuk berkata, “Dia tidak beranak dan tidak diperanakan”. Kalau Tuhan kita artikan sebagai sesuatu yang kita tuju, sudah berapa banyak Tuhan yang kita lahirkan dari dalam diri kita. Ketenaran, merasa lebih, merasa tinggi, merasa benar, merasa kaya, yang penting makan persetan dengan cara-cara mendapatkannya. Sadarkah kita bahwa Tuhan-Tuhan baru seringkali kita lahirkan dalam keseharian kita itu?(QS 45:23; 23: 45). Bila kita menduduki suatu jabatan dalam sebuah “jamaah Islam” misalnya, dan kita acapkali menggunakan telunjuk kita dengan menutup telinga, mata dan hati kita, serta ucapan dan tindakan kita harus dianggap sebagai “wahyu” yang harus segera dijalankan, maka jadilah kita Tuhan baru.
Dan menuju ayat terakhir kita hanya bisa terkulai lemas, “Dan Tiada sesuatupun yang setara dengan DIA”. Kalau DIA “tidak ada yang menyetarainya” tentulah dalam setiap aktifitas yang kita lakukan, kita senantiasa mendahulukan “kepentingan DIA”. Kenyataanya kepentingan NYA, seruanNya sering kali kita nomorsekiankan. Kita lebih memilih untuk menomorsatukan kepentingan diri dan lainnya. Bahkan kepentinganNya seringkali kita letakkan dibawah telapak kaki kita. Kalau tidak ada yang “menyetarainya” tentulah hati kita akan gemetar manakala disebut namaNya (QS 8: 2). Namun kenyataannya hati kita sering membatu, telinga kita sering tuli, dan mata kita sering buta bila disebut namaNya.
Dari uraian singkat di atas timbul pertanyaan, Benarkah kita telah meng-Esakan Allah se-esa-esanya? Benarkah kita hanya bergantung pada Dia dalam seluruh permasalahan kehidupan kita? Benarkah Tuhan tidak pernah kita lahirkan? Bukankah Tuhan sering kita lahirkan dari diri kita? Entah sudah berapa Tuhan yang lahir dari dalam diri kita? Entah sudah berapa banyak wujud Tuhan yang kita sembah setiap saat? Benarkah Tuhan tidak berbeda dengan yang lainnya? Bukankah kita sering meletakkan Tuhan di bawah telapak kaki kita? Bukankah selama ini seruan Tuhan tidak kita nomorsatukan? Bahkan kita lebih mengedepankan kepentingan diri?
Lihatlah keseharian kita. Seringkali kepentingan, Harta, Anak, Nafsu kita jadikan Tuhan. Banyak Tuhan yang kita sembah. Banyak Tuhan tempat kita bergantung. Banyak Tuhan yang sudah kita lahirkan dari hawa nafsu kita. Dan pada akhirnya ternyata Tuhan tidaklah berbeda dengan segala kepentingan dan hawa nafsu kita.
Marilah dengan jujur kita renungkan, kita tanya pada sanubari yang terdalam benarkah kita sudah mengesakan Allah? Marilah dengan jujur kita tanya pada kesombongan diri yang paling sombong, benarkah kita bergantung hanya pada-Nya? Marilah kita tanya pada nafsu serakah kita yang paling serakah, benarkah kita tidak pernah memperanakan Tuhan? Marilah kita tanya pada ke-egoan kita yang paling ego, benarkah kita tidak menyetarakan Dia?
Sejujurnya harus kita akui bahwa dalam teori bolehlah kita bangga memiliki Dien yang lengkap, satu-satunya yang mengEsakan Tuhan, namun dalam praktek nyata kita perlu berfikir jernih, buang sombong, lepas ego, raih tauhid.
5 Comments:
membaca tulisan yg 'dalam' ini, aku hanya bisa belajar. mencoba seperti yg kamu tulis: dengan tanda tanya.
dan jawabannya? mengerikan kali yaaa...:)
diam saja gak papakan?
intinya, menauhidkan ALLAH ke dalam diri itu banyak bet musuhnye ye!
Meiy : Ya memang amat menakutkan, makanya kita "dianjurkan" untuk senantiasa beristighfar(?).
MT : (?) sekarang lagi buat draft "Langkah-Langkah Syetan". yang intinya Musuh utama kita lebih amat banyak "diri kita" kendiri.
Masuklah ke dalam perlindungan-Nya, dan carilah sang guru ruhani yang akan membimbing kita sampai kepada-Nya.
Wah, mungkin saya harus sering merenung, setelah membaca tulisan ini. Dan itu perlu kemauan dari dalam diri saya sendiri dan langkah awal yang nyata.
Contohnya seperti bang Kelana ini, cukup dengan surat pendek saja, tapi hasilnya, bisa dijadikan bahan pelajaran buat saya.
Dan saya merasa seperti ditampar setelah membaca ulasan ayat ketiga. Ternyata masih kotor. Kotor.
Thx. Artikel ini saya save, buat dibaca lagi.
Post a Comment
<< Home