"NUBUWAH"
Oleh : Muhasuh
Jika kamu (para mukmin) tidak mau tampil kemuka membela panji-panji kebenaran niscaya Allah menghukummu dengan siksaan yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain (QS 9:39)
Selepas bebas dari kejaran tentara Firaun yang ditenggelamkan Allah di lautan, sampailah Musa di suatu tempat bersama kaumnya (Bani Israil). Belum lama mereka tiba ditempat tersebut dan dalam kondisi suka cita dan keletihan yang amat sangat tersebut, muncul panggilan Tuhan kepada Musa untuk menemui-Nya di lembah Thuwa. Bani Israil yang belum sempat menghirup alam kebebasan dan belum sempat memaknai hakikat kebebasan serta belum lagi menata pranata-pranata kehidupan bermasyarakat, sudah akan ditinggalkan oleh pemimpinnya.
Namun apapun yang terjadi, perintah Tuhan adalah di atas segalanya, sebab Dia Maha Tahu apa yang hendak diperbuat-Nya. Demikianlah Musa pun selaku Nabi dan utusan-Nya tak mampu dan tak berhak untuk menolak titah tersebut. Karena pantang bagi seorang mukmin untuk melakukan negosiasi perintah Tuhan-Nya. (QS 33: 36; 24:51)
Untuk itulah Musapun sejenak merenung dan berfikir untuk mengangkat seorang pemimpin sebagai penggantinya selama ia bermunajat kepada Allah SWT. Sikap Musa tersebut merupakan cerminan sikap seorang yang bertanggungjawab kepada ummat yang dipimpinnya. Tanpa itu ummat akan terombang-ambing dan ummat akan mempersalahkan Musa.
Maka Musapun memutuskan untuk mengangkat Harun, seorang yang shalih yang mampu menerjemahkan kehendak Musa dalam membimbing ummat yang juga dipercaya oleh ummat itu sendiri. Untuk itu Musa AS mengumpulkan jajaran Bani Israil dan membeberkan tentang maksudnya itu serta tak lupa pula mengadakan pengangkatan Harun dihadapan mereka sebagai pemimpin. Pengangkatan berjalan mulus, tak ada yang merasa keberatan atas keputusan itu. Secara pribadi Musa AS menitipkan pesan pada Harun agar membuat pola pembinaan/program kerja yang terpadu, jelas, dapat difahami, tidak muluk-muluk dan tidak membingungkan ummat sehingga menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Setelah semuanya berjalan lancar, dengan perasaan lega Musa pun berangkat.(QS.7:142).
Sebagai pimpinan sementara Bani Israil, maka Harun-pun menyiapkan strategi kepemimpinannya untuk diterapkan pada Bani Israil dengan salah satu titik tumpu pada pesan Musa sebelum bermunajat. Untuk itu ia mengundang para ketua Bani Israil untuk urun rembug (meminta masukan) sambil menjabarkan rencana program kerja yang akan diterapkannya. Dalam urun rembug itu tidak ada permasalahan yang berarti, semua mengangguk tanda setuju dengan rencana-rencana yang disodorkan oleh Harun A.S dan mereka bertekad untuk mensukseskan rencana kerja tersebut (Maklumlah Harun telah cukup lama hidup ditengah-tengah mereka dan mengerti apa yang dikehendaki oleh Bani Israil).
Awalnya - ketika ia menjalankan rencana kerja hasil keputusan dan urun rembug itu, tidak ada yang menentangnya. Namun belum lama semua itu berjalan, entah apa penyebabnya, tiba-tiba terjadilah gelombang ketidaktaatan pada Harun AS yaitu berupa ketidak konsistenan pada pelaksanaan program kerja (pengabaian terhadap program kerja). Gelombang ketidaktaatan ini kian lama kian bertambah banyak hingga akhirnya secara mufakat mereka meninggalkan Harun dan beberapa pengikut yang masih konsisten. Gelombang ketidaktaatan pada Harun ini akhirnya menjadi sebuah gelombang ketidaktaatan pada garis-garis perjuangan yang telah ditetapkan. Sehingga akhirnya mereka menyimpang jauh dari nilai-nilai tauhid. (QS 7: 148)
Itulah sekelumit kejadian yang dialami oleh Ummat Musa AS, ketika ditinggal bermunajat dan tongkat kepemimpinan dipegang oleh Harun AS.
Dalam Al-Qur'an, ummat Musa adalah ummat yang telah mampu melewati masa-masa kritis dalam perjuangan kemerdekaan melawan kediktatoran Firaun, ditambah lagi ummat ini sudah begitu amat dekat dengan "Nubuwah". Yang menjadi pertanyaan mengapa Bani Israil yang baru saja dibebaskan dari genggaman Firaun kembali kepada nilai-nilai jahili? Apakah pendekatan Nubuwah (Musa dan Harun) yang salah? Atau apakah karena Nubuwah (ajaran) terlalu sulit untuk mereka realisasikan? Atau...
Nubuwah merupakan tuntunan yang diperuntukan bagi manuisa (jin), oleh karena itu Nubuwah tidaklah mungkin bila tak dapat dijangkau oleh manusia, baik Nubuwah dalam artian pertama maupun Nubuwah dalam artian kedua. Sang "Kreator" tentunya telah mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia secara menyeluruh.
Dari kisah di atas, terlihat kegagalan yang dialami oleh Bani Israil lantaran mereka kurang mau beraktifitas dan menampilkan kreatifitas untuk kemajuan Bani Israil. Mereka lebih mengharapkan segala sesuatu dikerjakan dengan perantaraan "Mukjijat". Mereka menjadi manja, tidak mau menempuh jalan "yang mendaki lagi sukar". Mereka senantiasa menyandarkan setiap problema dan kesulitan pada pundak pemimpin mereka, sebab pemimpin mereka adalah orang yang mampu membuat "Gebrakan Keajaiban" dihadapan mereka sehingga mereka terpana tanpa daya.
Al-qur'an surat 13:11 dengan amat dalam menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum manusia itu sendiri berkecenderungan dan melakukan perubahan-perubahan terlebih dahulu. Selama manusia belum/tidak berkecenderungan terhadap Nubuwah maka selamanya ia tak akan pernah merasakan manisnya nilai-nilai Nubuwah, dan selamanya dia akan menjadi makhluk yang serba bergantung. Dan andaikan manusia seperti ini tidak bergantung pada keadaan, maka ia akan menjelma menjadi makhluk yang amat sombong, egois, dan serakah. Tengoklah bagaimana Qorun dan Samiri yang merupakan manusia unggulan dideretan Bani Israil pada awalnya tiba-tiba menjelma menjadi makhluk yang buta dan jauh dari nilai-nilai Nubuwah yang selama ini hilir dihadapannya.
"Menggali" pengalaman dari kisah tersebut, tentunya suatu jamaah/ organisasi/ pergerakan hendaknya dibangun oleh insan-insan yang "berkesadaran tinggi" tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah dimuka bumi ini. Untuk itu mau tidak mau bila hendak terhindar dari masalah di atas, maka setiap insan yang ada di dalam jamaah/ organisasi/ pergerakan (secara pribadi/kelompok) meningkatkan dan mengembangkan "kesadaran diri" untuk larut dan menyatu dalam "Tubuh Nubuwah". Sebab hari ini tidaklah mungkin menunggu "Gebrakan Keajaiban" dari seorang pimpinan, dan pimpinanpun takkan mungkin mampu membuat "Gebrakan Keajaiban" tanpa turut sertanya seluruh potensi yang ada. "Gebrakan Keajaiban" hanya akan menciptakan manusia-manusia yang penuh dengan kemalasan.
Masalah peningkatan "kesadaran diri" untuk menyatu dan larut dalam "Tubuh Nubuwah" ini, sudah tidak mungkin untuk ditawar-tawar lagi. Dia harus hinggap dalam jiwa dan semangat para insan yang ada di dalam organisasi/ jamaah/ pergerakan.
Ada 2 (dua) pilihan yang diberikan Allah bagi insan yang ada alam organisasi/ jamaah/ pergerakan dalam kehidupan ini : (1) Mencapai "Tanah Harapan" dengan kesadaran diri atau (2) kandas ditelan maraknya oragisasi sejenis yang ada disekelilingnya serta tak mampu lagi mendefinisikan diri sendiri (QS. 9:39)
Bukankah kegagalan-kegagalan yang selama ini dialami oleh jamaah/ organisasi/ pergerakan islam lebih disebabkan oleh pengabaian yang teramat lama akan peran dan fungsi Nubuwah?.
....Andaikan masih ada resah eratkan lagi dekapanmu
dan sekali lagi cobalah meski lelah hati yang ada ..... (yang tercinta - Iwan Fals)