Komunikasi dalam Rumah Tangga
Oleh : Muhasuh
Komunikasi amat dibutuhkan dalam berbagai tingkatan kehidupan, lebih-lebih komunikasi dalam suatu rumah tangga (keluarga). Hal ini dimaksudkan agar harmonisasi dalam keluarga dapat tercipta sehingga kesalahfahaman bisa dihindari seminimal mungkin yang dengan itu juga sekaligus terciptanya hubungan yang baik didalam keluarga itu sendiri.
Rumah tangga memang seharusnya merupakan madrasah awal dalam melatih komunikasi setiap anggota yang ada di dalamnya agar keutuhan dan kebutuhan rumah tangga dapat tercipta. Untuk itulah sering dalam suatu keluarga diterapkan komunikasi yang baku terhadap anggota keluarga. Komunikasi itu diwujudkan dalam seperangkat aturan yang tak tertulis, yang seringkali aturan ini berlaku hanya untuk anggota keluarga tertentu lebih khusus kepada anak-anak dan pembantu. Kadang-kadang aturan itu begitu amat bakunya sehingga tidak boleh dilanggar.
Sebagai contoh, seorang ayah/ ibu mewajibkan anak-anaknya bangun tepat waktu, pulang sekolah tepat waktu bahkan makanpun tepat waktu; atau kadang-kadang orang tua menerapkan aturan bila orang tua sedang bicara atau sedang makan atau sedang menerima tamu tidak boleh diganggu atau disela, dan setelah itu bolehlah diganggu.
Tak jarang karena kesalahan atau kegagalan komunikasi atau komunikasi yang dipaksakan di dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran hanya karena hal-hal yang sepele bahkan kadangpula menimbulkan musibah yang tak terduga sebelumnya.
Di dalam tulisan ini akan dikemukakan contoh-contoh perihal kegagalan/ kesalahan komunikasi dalam keluarga yang diambil dalam berbagai sumber cerita dan fakta yang moga-moga dapat diambil hikmahnya. Untuk kesimpulannya silakan dibuat sendiri.
Karena tak boleh disela ketika makan, orang tua kehilangan balitanya
Cerita ini diambil dari selorohan komedian WARKOP ketika masih jaya-jayanya. Keluarga "Fulan" memiliki 2 orang anak, yang pertama, balita 1 tahun yang sedang giat-giatnya melatih diri untuk dapat berjalan, dan yang satunya usia tujuh tahun murid kelas satu sekolah dasar yang sedang "nakal-nakalnya" dan gemas-gemasnya sama adiknya. Keluarga "Fulan" tinggal disebuah kontrakan yang sederhana dan asri, didepan rumahnya ada selokan yang lumayan dalam dan sumur yang dipakai bersama penghuni kontrakan lainnya (maklum musim kemarau membuat Pompa air tak bekutik) dan jalan yang cukup dilalui oleh satu setengah mobil. Keluarga ini tidak memiliki pembantu. Dikeluarga "Fulan’ ini orang tua mencoba mendisiplinkan anggota keluarganya (anak) sejak dini antara lain ketika orangtua sedang makan tidak boleh disela/ ganggu. Komunikasi dalam bentuk aturan ini memang cukup efektif, namun kadangkala tetap saja terjadi pelanggaran. Dan biasanya orang tua cukup mengingatkan, seperti "Kakak ingat ya, kalau papah, mamah sedang makan jangan di.....". si anak sulung langsung menjawab "..Jangan di ganggu mah..pah..". "Pinter" lanjut orang tuanya. Demikianlah komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk aturan tak tertulis itu berlangsung, hingga suatu waktu ketika keduanya sedang makan dikejutkan oleh suara si sulung sambil terengah-engah masuk ke ruang makan dan berteriak :"Mah... Pah!. Seperti biasa orangtua si bocah berkata: "Ingat pesan mamah dan papah apa"? Si sulung dengan fasihnya menjawab sambil terengah-engah: "Jangan mengganggu mammmah dan papppah waktu makan!". berkali-kali si sulung menyela orangtuanya seperti itupula jawaban orang tuanya. Dua puluh menit telah berlalu usailah orang tua si sulung makan, lalu ia menghampiri anaknya yang terlihat tegang. Disapa anaknya dengan lembut :"Nah sekarang coba kaka jelaskan kenapa mengganggu mamah dan papah ketika sedang makan?" Dengan santai dan sopan pula sisulung menjawab :"itu mah, waktu mamah dan papah sedang makan, adik kecebur di sumur depan". "APAAA" teriak orangtuanya. Dengan rasa tak bersalah, orang tuanya berkata: "Kenapa tidak kakak bilangin dari tadi?" Sianak menjawab: "Kan nggak boleh ngomong sama mamah dan papah".
Terlihat bahwa komunikasi yang diterapkan secara saklek menimbulkan dampak yang tidak kita harapkan. Padahal Agama sendiri mengenal yang namanya kedaruratan dalam berbagai hal. Seyogianya selaku orang tua kita mampu menangkap sinyal-sinyal yang diberikan oleh lingkungannya. Dengan menangkap sinyal-sinyal tersebut diharapkan kita mampu meredam kemungkinan terburuk dari peristiwa yang akan terjadi.
Anak kembali menjadi korban
Kisah ini adalah kisah NYATA, seperti diceritakan teman saya perihal tetangganya. Keluarga sederhana ini memiliki satu anak yang berusia 5 atau 6 tahun dan seorang pembantu. Ibunya bekerja sebagai Cleaning Service, sementara ayahnya saya tidak tahu. Seperti kita ketahui Cleaning Service bertugas membersihkan toilet kantor, lantai dan dinding agar terlihat kinclong. Untuk itu ia amat akrab dengan bahan-bahan kimia pembersih lantai/ dinding/ toilet semisal karbol. Ia mengumpulkan cairan karbol sisa-sisa ke dalam kantung plastik atas seijin atasannya. Setelah terkumpul cukup banyak cairan kimia (karbol) bewarna kuning jeruk itupun di bawa pulang. Di rumah ia langsung masuk dapur, dan diletakkannya plastik berisi karbol itu dibawah meja makan. Namun baru saja ia meletakkan plastik tersebut, di atas meja dilihatnya bekas botol minuman anaknya. Tanpa pikir panjang di cucilah botol tersebut dan diisinya dengan cairan karbol tadi lalu diletakkan di atas lemari makan agar tidak terjangkau oleh si kecil. Setelah itu dia mandi. Ketika si Ibu masuk kamar mandi tak lama kemudian masuk pula pembantu ke ruang dapur. Demi dilihatnya "minuman" si kecil ada di atas lemari makan, diambilnya botol tadi dan diletakkan di dalam kulkas. Tidak berapa lama setelah pembantu itu meletakkan botol di dalam kulkas, terdengar tangis si anak dari ruang tamu minta minumannya kepada si Bapak yang baru pulang. Si bapak yang merasa "sayang" sama anaknya bergegas ke kulkas dan mengambil "botol minuman" anaknya dan diserahkan langsung ke anaknya dan terus pergi. Si anak tanpa pikir panjang membuka tutup botol dan langsung menenggaknya. Ketika cairan itu masuk kedalam kerongkongannya berteriak-teriaklah si anak tadi membuat heboh seisi rumah. Tergopoh mereka menghampiri dan mendapatkan leher sianak sudah terbakar. Mereka saling pandang dan mata mereka tertuju pada "botol" minuman si anak. Akhirnya semua baik si ibu, bapak, dan pembantu merasa bersalah dengan kondisi itu.
Dari kisah nyata tersebut, terlihat peran komunikasi amat diperlukan dalam keluarga. Janganlah kita enggan untuk mencari dan berkomunikasi dengan pembantu, anak atau suami terhadap sesuatu/ benda yang kita anggap berbahaya. Apalagi benda tersebut dimasukkan ke dalam botol bekas si anak yang warna isinya "mirip" minuman si anak. Kita mesti memastikan bahwa benda tersebut aman dalam segala aspek.
Niat baik saja tidak cukup...
Cerita ini saya dapatkan dari seorang mubaligh, tentu saja ini sekedar cerita.
Ada satu keluarga yang belum dikaruniai anak, yang hidup dalam kekakuan komunikasi. Kekakuan komunikasi terjadi karena baik Si suami ataupun si istri ingin diperhatikan oleh pasangannya terlebih dahulu. Perhatian ini mereka anggap sebagai hal yang utama sebelum mereka memperhatikan pasangannya, namun hal tersebut tidak pernah dikomunikasikan dan hanya tersimpan dalam hati masing-masing. Harapan demi harapan agar pasangannya memperhatikan dirinya begitu menggelayut dalam dada masing-masing. Tak jarang diantara mereka menggunakan berbagai bahasa, dari bahasa gerak tubuh sampai bahasa sindiran, namun, tetap saja penantian mereka jadi sia-sia. Komunikasi yang erat/ intim/ harmonis tak kunjung tercipta karena masing-masing memiliki "GENGSI" yang melangit untuk menyapa/ meminta terlebih dahulu. Kondisi seperti itu terus berlanjut dari waktu ke waktu. Jadilah komunikasi yang mereka lakukan sebatas tanggungjawab sebagai orang yang sudah memiliki pasangan hidup, sampai suatu waktu mereka menyadari bahwa menyapa terlebih dahulu bukanlah merendahkan martabat diri, namun sebagai penghalusan budi dan agar kesalahfahaman tidak terus terjadi. Dan uniknya hal tersebut tercipta karena setitik "ajaran" dari Rabb semesta alam. Ajaran tersebut berupa musibah kecil yang menimpa mereka. Ya memang...Allah senantiasa memberi didikan kepada hamba-Nya baik diminta maupun tidak, tinggal bagaimana kita mampu mencerapnya. Setiap musibah memang ada hikmahnya, namun sedikit sekali yang mampu MENGAMBIL hikmah tersebut.
Untuk melihat perubahan tersebut, baiknya kita ikuti cerita berikutini.
Keluarga "FULAN" ini memiliki mobilitas ekonomi yang cukup tinggi, kedua-duanya bekerja. Sisuami bekerja dipasar berjualan sayuran dan si istri menjajakan sayuran disekitar tempat tinggalnya. Dalam menopang kelancaran usahanya, sisuami menggunakan sepeda untanya untuk membawa dagangannya ke pasar setiap pagi setelah shalat shubuh, sementara si istri menggunakan gerobak sayur dorong. Pagi itu seperti biasa setelah shalat shubuh si suami pergi ke pasar mengendarai sepeda untanya. Udara sejuk dan segar menerpa tubuhnya sepanjang perjalanan, dan (ini juga unik) dia menyapa setiap tetangga dan orang yang dikenalnya yang ditemuinya selama perjalanan, atau senyum simpul bila berpapasan dengan orang yang dikenalnya (hal yang jarang dilakukan kepada istrinya). Sesekali ia mengeluh dan geram demi dilihatnya banyak galian disepanjang perjalanannya. Kemarin dulu ada galian TELKOM, setelah itu galian PLN, setelahnya lagi galian PAM, dan sekarang galian FIBER OPTIC, itu yang dibaca pada papan pengumuman "Maap Jalan Anda Terganggu karena ada Galian......". si "Fulan" hanya mengurut dada dan bertanya dalam hatinya, "kenapa jalanan di gali dan digali lagi?", "bukankah kalau mereka berkordinasi tidak perlu gali lubang tutup lubang?", "bukankah waktu dan biaya yang dikeluarkan jadi semakin kecil?" (Inilah pelajaran yang sering diulang ulang oleh Allah kepada si Fulan, yaitu "KOORDINASI" - yang dia sendiri tidak menerapkan dalam keluarganya). Saking asyiknya ngedumel, ia tidak menyadari kalau ditikungan jalan ada galian yang belum ditutup. Ketika sampai ditikungan, ia terlambat mengantisipasi adanya lobang galian, maka serta merta sepedanya masuk lubang dan ia sendiri terpental beberapa senti meter (Maklum sepeda).. Sebagian dagangannya tercebur ke lobang galian, sebagiannya lagi masih menempel disepeda, sebagian lagi terlempar dijalanan dan sebagian lagi menimpa dirinya. Ia terkulai lemas, dan diperhatikan ada luka disekitar tubuhnya. Namun yang lebih parah lagi adalah roda sepedanya hampir membentuk angka 8, sehingga tidak bisa dikendarai. Terpaksalah didorong dan menuju bengkel yang lumayan jauh. Sementara daganganya yang bisa diselamatkan dibawa ke pasar untuk dijual, setelah itu dia pulang. Dia berniat akan bercerita tentang kondisi tersebut kepada istrinya.
Pada hari yang sama si istri berdagang keliling kampung. Sama seperti suaminya ia acap menyapa tetangganya, orang-orang yang dikenal dan tidak dikenalnya (maklum pedagang, kalo gak nyapa dulu mana laris dagangannya). Dengan telaten ia menyapa dan menjawab keinginan pembelinya. Satu persatu dengan sabar dilayaninya. Sebelum pelanggan memilih keinginannya dia terlebih dahulu menawarkan dagangannya sambil tentu saja mempromosikan dagangannya.(hal yang jarang dilakukan kepada suaminya) Setelah berkeliling dan melayani pembeli dibeberapa titik penghentian ia beristirahat sejenak. Sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan topi tikar miliknya, sesekali dia usap keringat yang keluar diwajahnya. Tiba-tiba ketika ia meraba telinga kirinya, dia terperanjat, anting sebelah kirinya tidak ada ditempatnya (hilang). Dia cemas, anting itu adalah hasil usahanya selama ini. Kemudian dia coba telusuri jalan-jalan dan tempat yang tadi ia lalui untuk mencari sebelah anting yang hilang. Namun usahanya sia-sia, anting sebelah kirinya tidak ditemukan. Akhirnya ia pasrah, dan berniat akan bicara dengan suaminya kelak sampai di rumah.
Suaminya pulang lebih dulu dari istrinya. Ia membersihkan luka-lukanya dan tubuhnya, dan mengenakan baju panjang, sementara bajunya yang koyak dia simpannya. Selang beberapa lama istrinya datang. Setelah menaruh gerobak dorongnya ia masuk rumah dan menemui suaminya. Ia melihat suaminya jalan agak tertaih tidak seperti biasanya, namun dia tidak bertanya. Demikian juga si suami demi melihat istrinya murung ia tidak menyapanya, bahkan ketika dilihatnya sebelah giwang kiri istrinya tidak ada ditempatnya. Akhirnya niat mereka masing-masing untu bercerita perihal musibah yang menimpa urung dilakukan karena mereka masing-masing menngharapkan sapaan terlebih dahulu. EGO.
Esok harinya, setelah shalat shubuh, kedua-duanya saling pandang. Si istri agak bingung demi dilihat suaminya tidak pergi ke pasar dan demi dilihat sepeda unta suaminya tidak ada ditempatnya, sementara si suami juga tak kalah bingungnya demi dilihat wajah istrinya seperti mendung kelabu. Si istri memberanikan diri demi melihat luka-luka di tangan suaminya dan berujar: "ngapa tangan lu bang?" sisuami menjawab dengan nada tinggi: "Lha elu baru nanya sekarang!". "sepeda gue nabrak lobang dua hari lalu" serunya lagi. Si istri bertanya:’Sepeda lu mana Bang?" . "dibengkel velg depannya rusak. Gue lagi gak gablek duit lagi". Seru suaminya. Tiba-tiba suaminya bertanya setengah bertariak ke istrinya: "Giwang luh nyang kiri mana yang?". Si istri menjawab sekenanya: "Lha lu baru nanya sekarang, pan ilang kemarin waktu gue keliling!". akhirnya terjadilah komunikasi diantara mereka, hal yang selama ini hampir jarang sekali mereka lakukan. Itulah sedikit hikmah bagi mereka, yang biasanya tidak berkomunikasi, pagi itu mereka berkomunikasi sambil bercanda.
Setelah sekian lama mereka saling lempar senyum dan canda, muncul keprihatinan dalam diri masing-masing. Si suami memiliki niat baik untuk membelikan sebelah giwang istrinya, dan si istri memiliki niat baik membelikan Velg depan sepeda suaminya, namun niat baik itu tidak diungkapkan. Besoknya sisuami pergi dahulu ke bengkel dan pasar. Di bengkel sisuami menjual sepedanya kepada tukang bengkel. Setelah laku terjual dengan harga pantas ia pergi ke Toko Mas di dalam pasar dan membeli Giwang sebelah kiri untuk istrinya. Sementara ditempat yang sama beberapa waktu yang lalu si Istri juga datang ke Toko Mas dan menjual giwang kanannya. Setelah itu dia pergi ke bengkel sepeda dan membeli velg beserta ban baru sepeda untuk suaminya dan terus pulang.
Dengan perasaan yang berbunga-bunga masing-masing ingin membuat kejutan agar dapat pujian. Si istri tiba di rumah terlebih dahulu. Dengan senyum simpul bakal mendapat pujian dari suaminya, dia taruh velg yang ada bannya di dalam kamar, kemudian dia buat kopi untuk suaminya. Sisuami disepanjang jalan menuju rumahnya bersiul-siul sambil membayangkan reaksi istrinya. Sesekali dipegang-pegangnya kotak berisi giwang kiri untuk istrinya. Bayangan akan keterkejutan istrinya menerima hadiah giwang kiri menemani langkahnya menuju rumah.
Sampai di depan pintu rumah, dia coba rapikan rambutnya, kemejanya bahkan dia seka keringat yang masih menempel di wajahnya. Lalu meluncurlah ucapan salam dari mulutnya yang terus menebar senyum itu. Dengan langkah cepat si istri menjawab salam dan membukakan pintu untuk suaminya.
Demi diihatnya masing-masing tersenyum tidak seperti biasanya, bertanyalah si istri, "ada apa bang senyum-senyum terus?" "Aye mau ngasih kejutan!’ jawab suaminya. "Koq sama sih bang, aye juga mau ngasih kejutan ama abang!" istrinya menimpali. Dengan kemanjaan semanja-manjanya siistri mohon agar suaminya memberi tahu kejutan apa yang akan diberikan suaminya. Si suami setuju tapi dengan syarat si istri mesti menutup matanya. Dengan mata tertutup dan senyum yang menghiasi bibirnya, siistri berharap-harap cemas perihal kejutan yang akan di berikan suaminya. Si suamipun dengan senyum mengembang dan membayangkan akan mendapat pelukan dan ciuman siistri mulai membuka kotak "PANDORA". Apa yang terjadi ketika siistri membuka matanya? Bibir tipis yang tadinya senantiasa mengembang senyum tiba-tiba berubah menjadi kecewa. Si suamipun tak kalah terperanjatnya, yang tadinya membayangkan keindahan tiba-tiba buyar demi melihat wajah istrinya yang berubah kelabu. Dengan serta merta si istri lari ke kamar dan kembali dengan roda sepeda. Dengan nada agak sdikit sewot sambil menggelindingkan roda sepeda kehadapan suaminya, si istri berkata:"Nih Bang giwang aye yang sebelah kanan udah aye jual dan uangnya aye beliin roda sepeda!" Si suami dengan nada tinggi pun berkata. "Sepeda aye udah aye jual, uangnya aye beliin giwang kiri", sambil melempar giwang itu ke arah istrinya".
Membaca cerita tersebut tentunya kita bisa mengambil hikmah misalnya amat sulit bagi suami/ istri untuk menyampaikan kebaikan pada pasangannya disebabkan sudah mengetahui kartu masing-masing. Sementara orang lain jarang yang memegang kartu kita, yang kedua bahwa tidak selalu niat baik itu menyenangkan orang lain. Perlu diingat bahwa NIAT BAIK ITU pada intinya adalah URUSAN KITA DENGAN ALLAH, untuk urusan dengan sekeliling kita wajib dengan KOMUNIKASI.
Masih mungkinkah pintu-MU kubuka
dengan kunci yang pernah ku patahkan? (EGA)