Jangan Pandang Mereka dengan Sebelah Mata
“Abul Abbas (sahl) bin Sa’ad as Sa’dy ra berkata:
Ketika Rasululloh SAW sedang duduk, tiba-tiba ada
orang yang lewat didepannya, lalu Rasululloh SAW
bertanya kepada orang yang berada disebelahnya,
Bagaimanakah pendapatmu tentang orang ini?
Jawabnya, “Ia adalah seorang bangsawan. Demi
Allah, sungguh layak apabila ia meminang akan
diterima, dan apabila ia membantu memintakan
sesuatu untuk orang lain pasti akan diterima.”
Rasululloh SAW pun diam. Kemudian lewat orang yang
lain. Rasululloh SAW bertanya lagi kepada shahabat
yang berada disebelahnya. “Bagaimana pendapatmu
tentang orang ini?” Jawabnya, kalau ia meminang
tidak diterima dan kalau ia menolong memintakan
sesuatu untuk orang lain tidak diterima”. Maka
bersabda Rasululloh SAW. “Orang ini (yang kedua)
lebih baik sepenuh bumi daripada orang yang tadi
itu (pertama)” (HR Bukhari Muslim H99 KC).
Semakin hari kehidupan semakin materialistis dan individualistis! Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin kata bang Haji Oma Irama dalam salah satu syair lagunya. Fenomana tersebut berlanjut pada cara pandang terhadap manusia yang ada disekitarnya. Sikap melecehkan terhadap si miskin seringkali dipertontonkan dalam kehidupan sehari-hari. Si kaya makin pongah dan merasa sebagai Raja yang harus dilayani. Si miskin makin terjepit dan terpinggirkan dan harus rela menjadi permainan hidup dan pelayan si kaya.
Sudut pandang demikian dalam kaca mata masyarakat yang materialistis adalah suatu kewajaran, karena memang penghargaan terhadap orang lain didasarkan pada pangkat, harta, dan jabatan seseorang bukan pada kebagusan akhlaknya.
Lihatlah kehidupan yang kita jalani diberbagai bidang menerapkan standar ini, dari desa hingga kota, dan dari rakyat kecil sampai pemimpin negara yang menyebabkan si miskin semakin menjerit, sementara sikaya berpesta pora. Itulah apabila harta dan kedudukan menjadi porsi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersikap terhadap sesama..
Marilah kita tengok sejenak kondisi yang terjadi di negara kita perihal beberapa perlakuan terhadap kaum lemah. Misalnya, dalam usaha memperoleh modal pinjaman, rakyat kecil dipersulit, padahal yang dibutuhkan tidak seberapa jumlahnya, sementara mereka yang bermodal dan berkedudukan dengan mudahnya memperoleh pinjaman bahkan tanpa agunan sekalipun dengan jumlah yang amat njomplang dibandingkan dengan si kecil. Dalam hal memperoleh hak sehatpun si kecil yang tak berduit dipersulit. Pihak pelayan kesahatan mensyaratkan uang jaminan yang seringkali tak terjangkau oleh si kecil. Jadilah si kecil tersandera dan makin jauh untuk menjadi aset bagi bangsa yang amat dicintainya. Bunga Trotoarpun tidak luput dari penertiban, dikejar-kejar, diambil barang dagangannya, padahal mereka telah membantu negaranya mengurangi pengangguran, hanya karena dianggap mengganggu keindahan kota. Buruh-buruh pabrik dan sejenisnya tak kalah melasnya dengan kondisi di atas. Diperas tenaganya sementara gajinya dibawah upah minimum bahkan jauh dari rekan-rekannya di negara lain, alasan penguasa khawatir pemodal lari ke luar negeri (?), bahkan seringkali pembayarannyapun tertunda. TKI, yang jelas-jelas menjadi pahlawan devisa bagi negara ini terabaikan. Perlakuan buruk majikan-majikan mereka tidak segera ditindaklanjuti, menunggu respon masyarat luas. Tidak seperti negara-negara lain yang pemimpinnya langsung turun tangan menangani kasus pahlawan devisa. Sisi hukumpun tak kalah sengitnya. Kasus “nenek Rusminah” dan yang lainnya membuat kita mengurut dada, hanya masalah sepele yang belum jelas kepastian hukumya sudah langsung dipenjarakan sampai berbulan-bulan. Sementara mereka yang memiliki “kekuatan”, koruptor, penggede kasusnya berjalan alot dan bahkan andaikan dihukumpun, hukumannya tak sebanding dengan kejahatannya.
Begitulah nasib kelam si miskin senantiasa terzalimi yang hanya untuk memperoleh bahagian kue pembangunan pun harus disisihkan dan dipinggirkan. Sementara si kaya sibuk menghitung-hitung keuntungan yang akan didapatkan dengan melupakan bahagian si miskin (QS 68: 17-33). Ditambah lagi hampir tidak ada yang mau memperhatikannya kecuali Pemilik hidup dan kehidupan itu sendiri.
Islam mengajarkan kita, agar tidak memandang remeh dan mempermainkan rakyat kecil. Karena mereka ada pada hekekatnya sebagai batu ujian bagi mereka yang berpunya. Peduli atau tidak. Bagi yang peduli terhadap mereka berarti telah menjalankan dan memahami perintah agama dan bagi yang tidak peduli mereka termasuk ke dalam golongan pendusta agama (QS 107: 1-7).
Lihatlah apa yang dikatakan Nabi perihal mereka yang (di)terzalimi, beliau mengatakan “Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini”. (HR. Bukhari) yang menunjukkan kedekatan beliau pada orang-orang kecil. Yang sebenarnya telunjuk itu mengarah kepada siapapun untuk sangat peduli terhadap kehidupan mereka bukan malah menyipitkan mata. Beliau amat peduli terhadap kelangsungan hidup mereka, bahkan beliau rela hidup seperti manusia kebanyakan itu walaupun beliau sanggup hidup melebihi para Kaisar dan para Raja. Perhatian beliau yang amat tinggi terhadap kaum lemah itu diwujudkan dalam praktek hidup beliau bukan sekedar basa-basi yang hari ini ditampilkan oleh para penggede. Beliau tegur para shahabat yang berbuat zalim terhadap mereka, beliau datangi dan santuni serta mencukupi kebutuhan mereka. Bahkan beliaupun memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap doa yang mereka panjatkan.“..Dan takutlah engkau dari doa orang yang dizalimi, karena doa itu tidak ada sekat dengan Allah Taala. (Shahih Muslim No.27)
Tak heran sepeninggal beliau, kebiasaan menyantuni para fakir miskin dan orang-orang kecil dilanjutkan oleh para Khalifah Islam. Para khalifah faham, bahwa dengan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan mereka keberkahan akan senantiasa melingkupi pemerintahan. Beda dengan Negara kita, walaupun dalam UUD secara tegas disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara Negara”, mereka justru terabaikan dan tersingkirkan. Maka wajar saja bila keberkahan jauh dari negeri yang mayoritasnya ummat Islam ini. Bisa saja salah satu sebab musibah demi musibah saling berimpit di negeri kita akibat rintihan mereka yang didengar Sang Maha Pendengar.
Perhatikanlah hadits di atas pada awal tulisan ini, yang berisi pengajaran secara langsung dari Nabi kita akan hakekat kehidupan sesungguhnya. Beliau mengajarkan agar kita jangan terpengaruh oleh bentuk fisik dan materi serta atribut-atribut lainnya yang menempel pada diri seseorang. Jadi............
Draft Tulisan 011210
Ref: Hadits Web, Qur’an digital 2.0