Wednesday, December 24, 2008

Hijrah (Bagian I)


Oleh: Muhasuh

"...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..." (QS 13:11)


"Hijrah" dalam pandangan ummat islam merupakan sesuatu yang tidak dapat dilupakan, sebab ia merupakan titik awal perjuangan ummat dalam menegakkan nilai nilai tauhid. Dari Hijrahlah masyarakat Islam yang rahmatan lil alamin yang membawa "peradaban wahyu" yang menyibghoh diri dengan shibghoh Ilahi terbentuk. Untuk itulah setiap datangnya tahun baru hijriah, ummat islam dimanapun berada senantiasa memperingatinya, baik yang berada dipelosok-pelosok kampung sampai ke perkotaan bahkan senantiasa diperingati dalam skala nasional (kenegaraan). Peringatan ini tidak lain dimaksudkan agar ummat kembali termotivasi untuk melakukan serangkaian perubahan yang mendasar dalam diri ummat itu sendiri agar terhindar dari intervensi dan "penjara" atau kungkungan kegelapan yang "sengaja’ diciptakan baik oleh ummat itu sendiri ataupun "pihak-pihak" yang tidak menghendaki bangkitnya kembali ummat Islam dalam percaturan kehidupan dunia. "Intervensi" dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai asing ke dalam nilai-nila Ilahi,dengan maksud menyingkirkannya/ memiminggirkannya, sehingga nilai Ilahi bukan lagi menjadi pegangan bagi ummat dalam meniti kehidupannya. Sementara itu "Penjara" dibuat agar ummat tidak dapat bergerak bebas dalam menjalankan perintah-perintah Ilahi. Hal ini dilakukan dengan menyibukkan dan membiarkan serta memberi ruang yang lebar kepada ummat dengan hanya "pendekatan vertikal" saja, dan menjauhkannya dari percaturan perpolitikkan dan kehidupan sosial. Sementara kungkungan kegelapan dilakukan dengan jalan menciptakan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC) ditengah-tengah ummat, sehingga ummat buta dan membabibuta pada hakekat kehidupan yang sebenarnya. Jadilah ummat terbuai terus menerus dengan mimpi indah kejayaan masa lampau dan anggapan keusangan ajarannya.

Ditengah kondisi seperti itu, peringatan-peringatan hijrah yang dilaksanakan setiap tahun dari atas mimbar sepertinya hambar dan pasti tidak akan mampu mengangkat "harkat dan martabat" ummat dalam kehidupan di dunia sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh generasi awal ummat. Ummat islam tetap saja hidup dalam tekanan dan "tertekan", sekalipun ia hidup di dalam sebuah wilayah yang "mayoritas" beragama islam. Ummat bagaikan ikan yang dipaksa hidup di darat dengan tetesan air. Menggelepar, mati tidak hiduppun tidak.

Tekanan-tekanan yang datang bukan saja berlandaskan atas "sentimen agama", namun lebih jauh masuk hampir pada seluruh kehidupan ummat.

Dalam kaitannya dengan sentimen agama misalnya, tekanan yang dilakukan adalah dengan memandang sinis kepada setiap pemeluk islam. Pemeluk islam dianggap sebagai ancaman atas eksistensi mereka, atau setiap pemeluk islam adalah potensi pencipta terror di masyarakat dan sekaligus "makanan" empuk untuk dibantai tanpa ada yang peduli sedikitpun. Kenyataan ini terlihat dari pandangan-pandangan "dunia" terhadap islam. Cap teroris misalnya, hanya dilekatkan kepada pemeluk islam,dan kita tidak pernah mendengar adanya teroris Budha, teroris katolik, teroris protestan, teroris hindu, teroris shinto dan lain-lainnya. Bahkan ummat yang sedang mengusahakan kemerdekaan dari penjajahan bangsanyapun dicap sebagai teroris atau ummat yang sedang mengusir penjajah dari negerinya yang berdaulat tetap saja di cap sebagai teroris. Sementara mereka yang mengagresi negeri dan membantai "umat" islam dan bahkan melakukan teror di dalam negeri ummat islam tidak pernah dicap sebagai teroris. Atau misalnya penindasan terhadap suatu kaum yang bukan ummat islam yang terjadi puluhan tahun silam, sampai hari ini pelakunya terus dikejar dan dicap sebagai penjahat perang. Sementara perlakuan yang amat bengis bangsa Spanyol terhadap ummat Islam, yang kebengisannya melebihi kekejaman manapun manusia di dunia ini dibiarkan berlalu. Atau yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus Bosnia.

Sementara itu tekanan yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih "ganas" lagi. Ummat seakan "dipaksa" untuk menjauhi segala sesuatu yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Produk-produk budaya yang tidak sesuai bahkan dengan nilai lokal sekalipun terpaksa harus ditelan mentah-mentah, sebab produk-produk tersebut dengan leluasa melenggang masuk ke rumah-rumah ummat, bahkan sampai ke tempat yang pribadi sekalipun. Umat tidak memiliki saringan sebab ummat sudah terbebani oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi yang makin hari makin menohok mereka. Lebih-lebih generasi muda dari ummat, generasi yang diharapkan mampu membawa beban kini malah menjadi beban itu sendiri, mereka sudah terbius tanpa daya oleh kesenangan-kesenangan sesaat. "Pergaulan bebas" sudah dikenal oleh mereka dari tingkatan pendidikan yang terendah sampai perguruan tinggi. Tengoklah acara-acara sinetron kita, exploitasi terhadap kaum muda begitu merajalela, padahal kebiasaan mereka menjadi contoh bagi sebagian besar kaum muda diseluruh pelosok.

Melihat kondisi tersebut, berat rasanya bagi umat untuk dapat bengkit dari keterpurukan, dan dari mimpi yang tengah membuai dirinya dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.

Namun demikian kita tidak boleh untuk patah semangat atau putus asa, sebab perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat kita lakukan manakala kita menyadari bahwa perubahan tersebut dapat terjadi bila kita memiliki semangat, tekad dan komitmen serta Flatform ke arah perubahan itu sendiri. Dengan kata lain kita harus merekonstruksi mimpi "HIJRAH" kita. Dari sekedar bangga akan masa lalu menjadi tahap-tahap dalam melakukan perubahan, yang dimulai dari diri sendiri.

Semangat, tekad dan komitmen itu adalah kembali kepada "Nilai-nilai Qur’an" ("Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa") dan "Hikmah" ("Sungguh telah ada pada diri Rasululloh itu contoh yang terbaik bagimu") sebagai suatu Flatform. Keduanya harus menjadi rujukan dan pijakan dalam menjawab fenomena yang ada yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bila kita ingin bangkit dari keterpurukan dan mimpi-mimpi disiang bolong. Dengan Al-Qur’an ummat akan terhindar dari tipu daya dan akan berlaku adil sebab ia memberikan petunjuk yang PASTI bukan abu-abu. Dan dengan "hikmah" ummat dapat becermin dalam menata bangunan-bangunan wahyu yang akan diwujudkannya. Dan bangkitnya umat dengan Qur’an dan Sunnah memiliki arti penting bagi tatanan kehidupan dunia, yaitu mengembalikan tatanan aturan pergaulan yang sejati, sebab ummat akan bersikap mengayomi negara miskin dan kecil secara adil, menghapus perbudakan modern dan intimidasi yang saat ini dipamerkan oleh "Hansip Dunia" (Baca: AS). Membawa kemakmuran yang selama ini di rampok dan dihisap oleh "Hansip Dunia" dan kroni-kroninya.
B E R S A M B U N G...............................................................