Monday, May 19, 2008

Hikmah dari Cerita

Oleh : Muhasuh


Menjalani kehidupan dengan berbagai pernak pernik yang melingkarinya membutuhkan pedoman sebagai arah agar kita tidak tersesat jalan. Islam telah membekali ummatnya dengan pedoman, yang bila kita ikuti tidak akan tersesat. Pedoman yang dimaksud adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, sebab keduanya banyak mengandung hikmah, sehingga kita akan terarah dalam meniti jalan kehidupan yang kita lalui. Dalam mengambil hikmah tentu banyak jalan untuk mendapatkannya disamping hikmah yang bersifat Qauliyah, sebab hikmah senantiasa terserak dan tersebar di senatero jagat raya (Qauniyah). Ia bisa berwujud lantunan ayat-ayat suci, pengemis dengan permohonannya yang membuat kita iba, ceramah agama di podium-podium dan media massa yang membuat kita mendapat tambahan wawasan keimanan, kicauan burung yang membuat telinga, mulut dan tangan kita bersatu menikmatinya, pengamen dengan kebisingan alat musik yang senantiasa mengganggu waktu istirahat kita, anak-anak kita dengan aneka macam kenakalannya yang sering menjengkelkan kita, orang-orang sakit dengan keluh kesahnya, iring-iringan jenazah yang lewat dihadapan kita yang mengingatkan kita akan kematian, kuburan dengan aneka bentuknya yang membuat kita merenung tentang rumah masa depan kita., tulisan-tulisan yang kita baca pada buku-buku dan bahkan ada pada cerita-cerita yang sering kita dengar dan kita tertawa terbahak karenanya. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah yang berserakan yang mungkin ada dihadapan kita dan belum kita ambil.

Dalam tulisan singkat di bawah ini akan dibuat beberapa contoh cerita yang mungkin sering kita dengar namun belum kita ambil hikmahnya. Contoh contoh pada cerita berikut ini setidaknya membuat kita termotivasi untuk lebih tekun dan giat lagi dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama kita. Karena dengan giat dan tekun dalam mempelajari agama (Islam) niscaya kita terhindar dari segala bentuk ketidak tahuan yang menyebabkan kita lalai dari ajaran agama. Dan kalau kita lalai terhadap ajaran Agama kita, maka kita akan sengsara hidup di dunia dan diakhirat.

Untuk itu mempelajari ajaran agama (Islam) merupakan suatu kewajiban bagi kita semua, agar:

1. Agar tidak menjadi orang yang sok tahu

Dalam bukunya yang berjudul “Tersenyumlah”, Aid al Qarni, berkisah : ada seorang Arab Badui yang menghadiri shalat Isa berjamaah. Saat itu Imam membaca Surat Al-Baqarah yang merupakan surat terpanjang dalam Al-Qur’an dan kebetulan si Arab Badui tidak tahu kalau surat itu panjang. Baru beberapa puluh ayat imam membacanya, si Arab Badui memutuskan untuk membatalkan shalatnya, karena dianggap bacaannya terlalu panjang dan sepertinya takakan berhenti, sementara ia memiliki satu keperluan yang harus segera diselesaikannya. Keesokan harinya, pada shalat Isa berjamaah juga ketika ia bermakmum dan Imam baru membaca surat AL Fiil, dia buru-buru memutuskan shalatnya dan keluar dari barisan jamaah shalat. sambil bersungut ia berkata,: “ kemarin malam waktu Imam membaca Surat Al-Baqarah (Sapi Betina) saja lama sekali apalagi sekarang Imam membaca Surat Al-Fiil (gajah), tentu lebih lama lagi. Bukankah Al-Fiil (Gajah) lebih besar dari Al-Baqarah (Sapi Betina)”? Demikian fikirnya.

Melihat apa yang dilakukan oleh si Arab Badui dalam cerita di atas, di satu sisi mungkin kita akan terpingkal dan tersenyum. Namun jauh dibalik itu ada pesan yang amat dalam yang seharusnya kita cerna sehingga menjadi hikmah dan pelajaran yang berarti dalam tindakan-tindakan kita. Arab Badui dalam cerita di atas bisa mewakili siapa saja diantara kita yang dalam beragama melulu menggunakan logika/ akal. Agama bagi mereka harus sesuai dengan logika mereka, dengan mengabaikan wahyu. Mereka senantiasa berpijak dan berpihak dibalik tradisi dan logika mereka tanpa mau menelaah lebih dalam lagi tentang tradisi tersebut ditinjau dari sudut pandang agamanya. Baginya apa yang diberikan oleh nenek moyang mereka (tradisi) harus dipegang kuat-kuat dan dipertahankan serta dijalankan, betapapun sulitnya memenuhi tradisi tersebut. Untuk urusan agama mereka siap kapan saja untuk membelakanginya. Dan bila dua kepentingan tersebut bertemu, maka mereka rela mengorbankan kepentingan agama atau mereka menemukan titik kompromi dengan menggabungkan keduanya. (QS. 2: 170; 5: 104; 7: 28; 23:45; 23: 71; 6: 21,119, 138, 139; 4: 119-120; 4: 109; 61:7; 46:5; 10 :59; 9: 31; 5:87,103, 104

2. Agar tidak plin-plan.

Mungkin kita masih ingat cerita tentang Ayah dan Anak yang hendak menjual keledainya ke pasar?. Ketika mereka melangkahkan kaki sambil menuntun keledainya di pagi yang cerah dan wajah yang semringah dengan canda tawa taiada hentinya di sepanjang jalan, tiba-tiba mendadak berhenti karena diperkampungan pertama yang mereka lewati terdengar omongan dari seorang penduduk yang mengatakan bahwa mereka orang yang bodoh, sebab punya keledai tapi tidak dinaiki malah dituntun. Mendengar itu, mereka berembuk, dan disepakati bahwa si Ayah menaiki keledai terlebih dahulu, sementara si anak menuntunnya. Demikianlah dengan tersenyum dan canda tawa mereka melanjutkan perjalanan. Sampai diperkampungan kedua yang mereka lewati, terdengar lagi omongan dari seorang penduduk yang mengatakan bahwa si Ayah tidak memiliki rasa sayang terhadap anaknya. Kenapa anak yang masih kecil dusuruh menuntun keledai, sementara si Ayah enak-enakan naik keledai. Mendengar itu si Ayah turun dan menyuruh anaknya untuk naik keledai. Perjalanan mereka lanjutkan kembali dengan si Anak yang menunggang keledai dan si Ayah yang menuntunnya. Setelah berjalan dan melewati perkampungan ketiga, terdengar kembali omongan seorang penduduk yang mengatakan bahwa si Anak tidak menghormati orang tuanya. Masakan orang sudah tua seperti itu disuruh berjalan dan menuntun keledai, sementara dia enak-enakan di atas keledai, kata penduduk itu. Kembali mereka tercenung memikirkan ocehan penduduk itu. Mereka berfikir apa yang sebaiknya dilakukan, timbullah kesepakatan diantara mereka untuk menunggangi keledai itu berdua sekaligus. Mereka berfikir takakan ada lagi penduduk yang mengoceh macam-macam tentang mereka. Sambil bersiul dan bercanda di atas keledai mereka berjalan kembali. Namun belum berapa jauh keledai itu melangkah ada omongan dari penduduk yang membuat hati mereka gundah. Mereka dikatakan tidak kasihan terhadap keledai itu. Masa keledai sekecil itu di naiki berdua? Merekapun turun lagi karena terpengaruh oleh ocehan penduduk itu. Lama mereka tercenung memikirkan tindakan yang tepat. Akhirnya mereka sepakat untuk memikul keledai tersebut. Dengan tenaga yang mereka miliki mereka panggul keledai tersebut, setelah terlebih dahulu mereka ikat ke empat kakinya. Dan apa yang terjadi? Ketika mereka melewati perkempungan terakhir yang dekat dengan pasar, ada lagi obrolan orang-orang disekitar mereka yang mengatakan bahwa mereka gila. Masa keledai bukannya dinaiki malah dipanggul? Akhirnya ketika sampai jembatan di atas sungai, karena amat lelahnya membuat mereka goyah dan akhirnya keledai itu terlepas dan masuk ke sungai yang airnya deras.

Kisah di atas barangkali amat relevan dengan kondisi saat ini, dimana kita sudah tidak memiliki lagi pegangan dalam kehidupan ini. Kita seringkali tidak yakin dengan apa yang kita pegang. Kita amat terpengaruh dengan omongan orang lain. kita malu dengan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh Islam karena khawatir dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman. Jadilah kita orang-orang yang serba bingung dan plinplan layaknya seekor bunglon, kemanapun ia hinggap ia akan menyesuaikan warna kulitnya. (QS 17 : 36; 33: 66-68; 2:166-167)

3. Agar tidak menjadi orang yang bodoh.

Masih ingat tokoh Sufi Nashrudin? Suatu ketika di depan gudang yang diterangi oleh cahaya bulan purnama, Nashrudin sepertinya sedang mencari sesuatu. Lama ia mencari kesana kemari di luar gudang yang terang itu. Gerak-gerik Nashrudin membuat seseoang yang memperhatikannya dari kejauhan mendekatinya dan bertanya. “Apa yang sedang kau cari Nashrudin?” Tanya si Fulan. Nashrudin dengan enteng menjawab: “Aku mencari barangku yang hilang”. Lalu terlibatlah si Fulan dalam pencarian yang cukup melelahkan itu. Sampai akhirnya karena semua sudut depan gudang sudah diobok-oboknya, Si Fulan bertanya lagi: “Dimana hilangnya barangmu itu, Nashrudin?”. Sambil terus mencari-cari barangnya, Nashrudin berkata: “Barangku hilang di dalam gudang”. “Lantas kenapa kau mencari di luar gudang?” tanya Fulan sambil keheranan. Dengan enteng Nashrudin menjawab: “Di dalam gelap, sementara di luar kan terang”.

Manusia yang tidak mau menyerap pelajaran dan tidak mau belajar (menuntut ilmu) sudah tentu mereka akan menjadi manusia bodoh. Bagi mereka petunjuk (Al-Islam) hanyalah hiasan dalam kartu pengenal mereka. Mereka tidak pernah mau tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam beragama. Mereka kosong dari nilai-nilai keimanan. Agama bagi mereka hanya sekedar simbol, dan sebagai pemikat serta pengekang manusia dari kehendak nafsunya. Manusia seperti ini amat mementingkan kulit luar dalam urusan-urusan ibadah. Bahkan kulit luar agamapun tidak mereka pahami secara utuh. Mereka mengenal kebenaran tapi tidak mau merengkuhnya dan menjalankannya, bahkan rela mengikuti jalan yang berseberangan dengan kebenaran itu sendiri. Mereka tahu bahwa Islam membawa pada keselamatan dunia dan akhirat namun mereka setengah hati menapakinya. Jadilah mereka mayat-mayat hidup, disebut demikian sebab mereka hidup tanpa bimbingan agama (Islam) (QS 47: 16; 45:18; 43: 30; 5: 48; 4: 60; 25: 44; 7: 179; 28: 50)

4. Agar lebih dekat kepada Allah SWT

Suatu hari Khalifah Abu Bakar sedang berjalan-jalan di sebuah lembah. Berhentilah dia diarea penggembalaan domba. Di sana dia melihat seorang anak muda sedang menggembala domba dengan telatennya. Atur sana atur sini. Lari sana lari sini. Setelah di rasa semua dombanya sudah mendapatkan jatah rumput dan aman dari serangan binatang buas, maka beristirahatlah dia pada sebuah batu tidak jauh dari tempat Khalifah. Khalifah menghampiri penggembala tadi, dan terjadilah sapa salam diantara mereka. Kebetulan si pemuda tidak tahu siapa yang ada dihadapannya, dan Khalifahpun tidak memperkenalkan diri sebagai Khalifah tapi sebagai orang biasa. Terjadilah dialog diantara mereka. Setelah dialog beberapa saat, timbul niat Khalifah untuk menguji si penggembala tentang keimanannya. “Aku kehausan, mungkin engkau dapat memberikan air susu untukku. Aku ingin membeli susu dari domba gembalaanmu “, pinta Khalifah. “Maaf Tuan”, kata sang penggembala. “Aku hanya seorang penggembala. Domba ini bukan milikku. Aku tidak dapat bertransaksi dengan anda. Tuanku ada dibalik bukit itu”. Jawab sipenggembala. Berkali-kali Khalifah meminta, namun jawaban sipenggembala tetap sama saja. “Bagaimana kalau aku beli saja domba yang gemuk ini. Satu saja. Ini uangnya, ambillah! Pinta Khalifah dengan nada setengah memaksa sambil memberikan uangnya ke sipenggembala. Jawaban sipenggembala tetap saja sama seperti semula, sambil mengembalikan uang Khalifah. “Kita harus pergi ke balik bukit itu dan anda harus bertransaksi langsung dengan majikanku” lanjut si penggembala. “Bukankah engkau dapat bilang kepada majikanmu kalau domba ini hilang atau dimakan serigala. Bukankah di daerah ini banyak berkeliaran serigala? Lagipula majikanmu tidak akan tahu kalau dombanya berkurang satu”? Desak Abu Bakar sambil memohon agar sipenggembala menerima uangnya. Namun uang itu tetap ditolaknya, sambil berkata: “Tuan benar. Memang tidak ada seorangpun yang tahu tentang domba ini kecuali kita. Sebab domba ini hanya satu dari sekian banyak domba yang ada. Lagi pula serigala memang sering berkeliaran di daerah ini. Dan majikankupun tidak pernah menghitung domba yang aku gembalakan, semuanya sudah dipercayakan kepadaku”. “Tapi Tuan” lanjut sipenggembala. “Tolong jawab pertanyaan saya. Dimanakah Allah? Tuhan yang tidak pernah tidur, Yang senantiasa mengawasi gerak-gerik hambanya. Dimanakah Allah wahai Tuan?” Katanya tegas.

Kisah di atas memberikan pelajaran yang amat berarti bagi kita, yaitu bila iman sudah masuk ke dalam dada, maka kita tidak memerlukan pengawasan dari makhluk agar senantiasa berbuat baik. Kita tidak akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri. Kita akan senantiasa menjaga amanah yang diberikan kepada kita bukan justeru sebaliknya mengkhianati amanah yang kita pegang. Karena Allah ada dalam hati kita. Karena DIA tidak pernah lengah apalagi ngantuk dan tidur. Dia senantiasa mengawasi seluruh makhluknya. Dia senantiasa mengawasi sepak terjang kita (QS 6: 59; 31: 16; 58: 7; 33:54; 89: 14; 8:1)

Ya... cerita apalagi yang berupa cerita humor sering membuat kita tertawa terpingkal-pingkal hingga kita lupa pada pesan yang disampaikan, kita menganggap cerita-cerita tersebut hanyalah penghibur diri dan tak perlu untuk memahami inti pesan yang dibawanya. Padahal petunjuk dan kesadaran diri untuk lebih dekat kepada Allah seringkali kita dapatkan dari cerita-cerita yang kita dengar yang berserakan disekitar kita.

Membaca kisah di atas, apakah kita salah satu dari keempat cerita di atas? Wallahu ‘alam bisshowab.




*) Dari berbagai sumber