Monday, July 31, 2006

Tiga "Sikap" Membaca Al-Qur'an

Oleu : Muhasuh
Membaca Al-qur’an adalah salah satu kebiasaan yang baik dilakukan oleh kita. Dikatakan baik sebab Al-ur’an adalah kitab suci kita yang merupakan petunjuk dalam menghadapi dan menjalani hari-hari melelahkan dalam kehidupan di mayapada ini. Dengan petunjuk tersebut diharapkan kita dapat terhindar dari sesuatu yang mungkin akan menjerumuskan kita pada kehidupan yang "menyebalkan" kelak.

Namun demikian tidak semua para pembaca Al-Qur’an tersebut dapat mengambil hikmah darinya. Ketidakmampuan kita dalam mengambil hikmah dipengaruhi oleh "kebiasaan" kita dalam berhadapan dengan Al-Qur’an. Kebiasaan-kebiasaan tersebut umumnya berhubungan dengan sikap kita dalam berdialog dengannya.
Ada tiga kriteria manusia dalam membaca Al-Qur’an. Ketiga kriteria tersebut saya simbolkan dengan tanda baca, yaitu : (1) Tanda Titik (.), (2) Tanda Seru (!), dan (3) Tanda Tanya (?).

Tanda Titik : Membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tanda titik adalah sikap yang paling banyak dianut oleh sebagian besar dari kita. Sikap ini hanya berfokus pada proses membaca. Lihatlah aktifitas kita pada malam Jum’at dengan membaca surat Yasin misalnya. Setelah membaca surat ini kita tidak pernah mengetahui dan memahami apa pesan yang disampaikan surat tersebut bagi kita. Pokoknya kita sudah membacanya, titik. Atau tengoklah kebiasaan kita mengejar target 30 Juz pada bulan Ramadhan. atau khatam Qur’an secara bersama-sama pada acara kematian, syukuran dan lain-lainnya. Setelah khatam itu selesai, tidak ada PR apapun yang harus dikerjakan, titik. Toh target 30 Juz sudah selesai. Mau apa lagi?

Tanda Seru : Membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tanda seru maksudnya adalah bahwa kita sering tidak terlibat terhadap beberapa ayat yang ada di Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan azab, neraka, kafir, zalim dan lain sebagainya. Bagi kita hal tersebut bukanlah untuk kita tapi untuk orang lain. Namun bila ada ayat-ayat tentang rahmat, syurga, taqwa dan sejenisnya kita berpendapat itu adalah kita. Dalam sikap ini tidak ada kekhawatiran sedikitpun dari kita akan terjerumus pada kekafiran, kedurhakaan, kezaliman. Karena kita memandang, hal tersebut tak pernah akan terjadi dengan kita. Sikap seperti ini banyak dianut oleh mereka yang memang sedikit lebih memahami pesan-pesan Al-Qur’an sekalipun mereka memahaminya melalui terjemahan. Sikap ini banyak pula dianut oleh mereka yang merasa dirinya suci/ bersih, sehingga apapun yang dilakukannya PASTI benar, dan apapun yang dilakukan orang lain PASTI salah.

Tanda Tanya : Sikap ini, sesuai dengan namanya, tanda tanya, senantiasa mengajak diri untuk merenung terhadap seluruh ayat-ayat yang dibacanya. Ia amat sangat khawatir bila melewati ayat-ayat azab, neraka, kafir dan lainnya. Mereka senantiasa bertanya adakah kekafiran Adakah kezaliman dalam diri mereka selama ini? Apakah mereka mengerjakan sesuatu yang akan membuat mereka terjebak dalam sikap-sikap tersebut? Dan bila mereka melewati ayat-ayat rahmat, syurga,, kebaikan, mereka amat berharap sekali semoga mereka ada di dalamnya. Dan tidak hanya sekeder itu saja, tapi mereka juga berusaha mengaplikasikan seluruh ayat-ayat tersebut dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Dari ketiga sikap tersebut di atas, ada dimanakah kita?

Tuesday, July 18, 2006

Sudahkah kau belah dadanya?

Oleh : Muhasuh


Dalam kehidupan sehari-hari sikap saling percaya satu sama lain adalah hal yang seharusnya ditampilkan. Saling percaya akan menumbuhkan sikap baik sangka kepada siapapun yang pada akhirnya akan berdampak pada ketentraman jiwa kita. Ketentraman tersebut terwujud disebabkan di dalam diri kita tidak ada lagi "perasaan-perasaan" yang berlebihan seperti curiga, duga-duga, ketidakpercayaan, caci maki dan lain sebagainya. Perasan-perasaan tersebut akan menyebabkan kita "berburuk sangka" yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Kerugian diri dikarenakan kita disibukkan oleh sesuatu yang bukanmenjadi porsi diri untuk menjelaskannya. Sehingga dengan kesibukkan tersebut, diri kita menjadi lupa dengan kemampuan kita terhadap sesama manusia. Kemampuan yang dimaksud adalah keterbatasan dalam "mendefinisikan" tingkah laku orang per orang.
Tengoklah saat ini dalam kehidupan kita, seorang yang hendak bertaubat karena kelakuan jeleknya sering kali kita cibirkan kesungguhannya. Kita sering memvonis/ berkata : "alah... saya tidak percaya dengan kesungguhannya", atau "paling-paling juga ada maunya tuh", atau :mimpi kali ye" atau "Tumben" dan masih banyak lagi keraguan yang ada dalam diri kita. Keraguan tersebut akhirnya tetap membawa kita pada prasangka yang tiada akhir. Yang pada gilirannya energi kita tersedot untuk hal-hal tersebut.

Seorang yang pernah melakukan tindakan jelek selama bertahun-tahun lamanya memang amat sulit diterima oleh "Kita". Bak seorang hakim kita memvonis bahwa tindakan baiknya belakangan ini hanya sekedar menutupi tindakan bejatnya yang selama ini dilakukan. Seringkali orang yang memiliki kesadaran untuk "kembali" menjadi ragu dan putus asa dan akhirnya karena tak mampu menerima "tatapan dan nyanyiian" kita mereka kembali pada kebiasaan jeleknya. Dan biasanya "kita" merasa puas dengan menjerumuskan orang tersebut dengan berkata: "Tuh kan apa saya bilang, dia cuma sekedar mempermainkan kita, buktinya lihat tuh dia kembali lagi dengan kebiasaan jeleknya". Tanpa merasa memberi andil atas kembalinya orang itu melakukan kejelekan lamanya, kita mencibir sinis dan senyum kemenangan.

Islam sebagai rahmatan lil alamin merupkan petunjuk dan pemandu bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya, dan Allah tidak pernah membebani manusia melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS 2: 286). Sebagai petunjuk dan pemandu, manusia diwajibkan untuk senantiasa berpegang pada petuah-petuahnya. Namun yang terjadi adalah bahwa seringkali "kita" abai terhadap petuah-petuah tersebut dalam melakukan aktifitas sehari-hari, yang pada gilirannya menyebabkan kita "lupa" terhadap kemampuan yang kita miliki. Dengan kealpaan tersebut kita seringkali mencampur adukkan antara hak kita dan hak Allah. Dengan pencampuradukkan tersebut membuat energi kita terkuras. Terkurasnya energi kita disebabkan kita (berusaha) melampaui kemampuan kita dan (mencoba) mengambil "hak Tuhan".

Islam mengajarkan kita untuk "menilai lahir" seseorang bukan "bathinnya". Sebab masalah bathin hanyalah wewenang Allah SWT tak seorangpun bisa mengambil wewenang ini hatta dia Malaikat yang dekat dengan Allah sekalipun.

Hadits berikut menggambarkan betapa urusan "bathin" menjadi wewenang Allah SWT.
Usamah bin Zaid ra berkata: Rasulullah saw mengutus kami ke Huraqah pada suku Juhainah, maka ketika kami sampai disana, pagi-pagi kami menyerbu. Tiba-tiba aku dan seorang Anshar bertemu dengan seorang dari mereka. Maka ketika kami telah mengepungnya, ia berkata "LA ILAHA ILALLAH". Maka shahabatku orang Anshar itu menyuruh aku menghentikan, tetapi terus saja aku tikam dengn tombakku sehingga matilah dia. Dan ketika kami telah kembali ke Madinah, berita itu telah sampai kepada Rasulullahsaw maka beliau bertanya "Apakah sesudah ia mengucapkan LA ILAHA ILALLAH masih juga engkau membunuhnya?" jawabku: "Ya Rasulullah, ia berkata begitu mungkin hanya karena takut kepada senjataku". Bersabda Nabi: "Apakah sudah kau belah dadanya sehingga engkau ketahui dengan jelas, apakah ia berkata karena takut atau tidak"....(HR BM HKC 135-136).

Menelaah hadits tersebut, terbayang dalam fikiran kita, sudah seberapa banyak kita membelah dada orang lain, sehingga kita mampu memvonis dia jujur atau dusta. Mungkin kita sudah menjadi ahli dalam urusan bedah membedah tanpa menggunakan alat bedah, cukup dengan melihat dan mendengar kulit luarnya saja. Memang membedah (membongkar) menjadi ciri khas keahlian kita, namun memperbaikinya adalah soal lain. Barangkali juga inilah hikmah kenapa kita ditakdirkan tidak hidup dalam masa Nabi. Andaikan kita hidup dalam masanya, kita takkan mampu menerapkan petuah-petuahnya, dan bahkan menentangnya yang pada akhirnya bisa jadi kita akan sealiran dengan tokoh-tokoh munafik dan penentang Nabi.

Renungkanlah hadits di atas, dalam masa perang sekalipun yang merupakan tipu daya, tetap saja wewenang Allah tidak boleh kita ambil, apalagi pada masa "damai" seperti ini.

Semoga hari-hari kedepan kita mampu memahami hak dan wewenang kita, sehingga kita tak perlu mengambil hak dan wewenang Allah, yang hanya membuat diri kita dirungsingkan terus menerus dan energi kita terbuang dengan percuma. Serahkanlah sesuatu yang menjadi wewenang Allah kepada Allah niscaya hidup kita akan tentram. Ambil dan Jalankan sesuatu yang menjadi hak dan wewenang kita niscaya kita akan menjadi mukmin yang kuat (QS 48: 26).